“Ibun, aku butuh iPad.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Jasmine, anak pertama kami yang kini duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Nada bicaranya lembut tapi tegas, seolah dia sudah menyiapkan kalimat itu sejak lama. Saya menatapnya dengan lembut, dan juga tersenyum.
![]() |
| pernah nyobain ini, tiba-tiba… |
Keinginannya semakin kuat ketika kami sedang ke Mal untuk sekadar jalan dan jajan. Saat itu, saya mengajak anak-anak berkunjung ke beberapa store handphone untuk menanyakan reparasi handphone saya yang terkena greenline. Saat saya sedang ngobrol serius dengan teknisi, mereka keliling melihat koleksi handphone, tablet, dan beragam aksesori.
Sebagai orang tua, tentu saya paham betul keinginannya. Jasmine memang punya hobi menggambar. Dulu, dia sering menggambar di buku khusus menggambar yang ia beli sendiri. Namun saat dia mulai tahu bahwa ada aplikasi yang bisa dipakai untuk menyalurkan hobinya, dia minta waktu khusus, bahkan akses khusus untuk mengunduh aplikasinya melalui ponsel.
"Ibun, handphone ini boleh aku pakai buat menggambar?"
Handphone jadul milik saya, Samsung Galaxy A7 (2017) memang sudah saya pinjamkan ke dia. Tapi, sejauh ini belum ter-install aplikasi menggambar. Jujur saja, di dalam hati ini bisa saja saya membelikannya. Tapi ada bagian dalam diri ini yang berkata, “Tidak sekarang. biarkan dia berproses dulu.”
![]() |
| hasil karyanya, poster buat tugas sekolah |
Awal dari Sebuah Mimpi.
Malam itu, kami duduk di ruang tamu setelah makan malam. Jasmine membawa buku kecil bergambar kartun yang ternyata itu “buku impian”-nya. Di dalamnya, ia menggambar iPad dengan pensil warna, persis gambaran iPad yang sudah ia lihat saat di Mal. Di bawahnya, ia menulis dengan huruf besar-besar:
“Target: iPad untuk menggambar. Harga: Jutaan. Ayo semangat, Jasmine!”
Saya dan suami saling bertatap. Kami tahu, ini saat yang tepat untuk mendukung impiannya tanpa langsung memanjakannya. Maka dimulailah hari-hari penuh semangat dan pelajaran berharga.
Malam-malam Bersama Puding.
Setiap malam setelah belajar, dia akan berdiri di dapur bersama saya. Kadang, adiknya juga ikutan. Tangannya sibuk mengaduk adonan puding, sesekali mencicipi rasa dengan wajah serius.
Hari Pertama Berjualan.
Pagi itu, dia bangun lebih awal dari biasanya. Ia memeriksa kembali kotak jajanan yang sudah rapi dipacking malam sebelumnya. Ada puding rasa cokelat, taro, red velvet dan vanila. Di sebelahnya, beberapa bungkus camilan ringan hasil repacking sendiri. Sederhana, tapi penuh kebanggaan.
![]() |
| jajan repacking… |
Belajar Mengatur Uang Sejak Dini.
Saya tersenyum melihat caranya berpikir. Hati ini pun kembali tersentuh. Dari jualan sederhana itu, dia belajar banyak hal, sesuatu yang mungkin tidak diajarkan di sekolah: tentang manajemen keuangan, tanggung jawab, dan konsistensi.
Setiap Hari, Sedikit Lebih Dekat dengan Mimpi.
Melihat ketekunan dan semangatnya membuat saya menyadari, anak sekecil itu sudah memahami makna berjuang. Dia tidak sekadar ingin memiliki barang, tapi benar-benar menikmati dan menghargai proses menuju ke sana.
Dari Impian Kecil, Lahir Banyak Pelajaran Besar.
-
Belajar Bertanggung Jawab.Ia tahu bahwa impiannya bukan sesuatu yang bisa didapat begitu saja. Ada usaha dan ketekunan yang harus dijalani.
-
Belajar Mengatur Keuangan.Dengan memisahkan uang modal dan laba, dia belajar prinsip dasar ekonomi sejak dini.
-
Menumbuhkan Rasa Percaya Diri.Setiap kali jajan yang ia bawa habis terjual, rasa percaya dirinya tumbuh. Ia merasa mampu.
-
Mengasah Kemandirian dan Kreativitas.Dia belajar menciptakan rasa, mengatur tampilan, bahkan berani menawarkan produknya ke teman-temannya. Lalu, bagaimana saat jajanan tidak ada yang laku? Kami sebagai orang tua punya cara tersendiri untuk tetap membuatnya semangat. Nanti kami tulis di postingan terpisah.
-
Menguatkan Ikatan Keluarga.Karena impian ini, kami jadi sering berkumpul baik di dapur maupun ruang santai. Ada kerja sama, canda, dan kasih sayang yang membuat rumah terasa lebih hidup.
Ibun Bangga!
“Bun, makasih ya udah bantuin aku. Aku senang banget bisa jualan dan dibantu bikin jajan kayak gini."
Dalam hati, saya tahu, pada akhirnya nanti saya yang akan membelikannya iPad itu. Entah iPad atau tablet, terpenting sesuai kebutuhannya. Tapi membelikannya bukan karena kasihan, melainkan sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya. Sebuah hadiah untuk kerja keras, bukan sekadar keinginan semata.
Karena pada akhirnya, yang sedang tumbuh bukan hanya impian membeli iPad, tapi seorang anak kecil yang sedang belajar menjadi pribadi besar.
Kalimat “Ibun, aku butuh iPad.” kini bukan lagi sekadar permintaan, tapi awal dari perjalanan yang penuh makna, tentang tanggung jawab, cinta keluarga, dan impian besar yang tumbuh dari dapur kecil di rumah kami. 💛








