Hai, Bunda. Beberapa waktu lalu, anak perempuan saya, Jasmine pulang main dengan raut wajah yang kurang bahagia. Dia langsung menuju kamarnya untuk istirahat tanpa menyapa saya yang sedang menonton sinetron kesayangan. Tentu ini tidak biasa, dong. Ya...kalau memang ada teman yang nakal, kan biasanya sampai rumah menangis atau kesal, ya. Dan kalau capek karena main, biasanya dia tetap menyapa saya, lalu izin mau istirahat.
Kali ini memang lain. Terlihat ada yang membuatnya tidak nyaman. Jujur saya agak panik. Kalau menangis sekalian, sih, bisa langsung ditanya penyebabnya, ya. Tapi dia memilih untuk diam dan tidur. Saya masih beruntung karena pintu kamarnya tidak dikunci. Iyalah, anak usia tujuh tahun belum berpikiran mengunci pintu untuk mendapatkan ketenangan atau sekadar untuk istirahat. Saya pun mencoba mengintipnya, ternyata dia memang beneran tidur.
"Ah, ini pasti dia pura-pura memejamkan matanya." Saya sempat membatin seperti itu. Jadi, ketimbang penasaran, saya berdiri agak lama di samping pintu kamar sambil melihat dia yang dengan tenang memeluk guling. Masih tetap penasaran, saya mendekat, dong. Khawatir dia menangis tanpa suara atau meneteskan air mata. Ternyata dia memang memang tidur. Gulingnya aman, tidak basah.
Harusnya saya bisa merasa tenang ketika melihat anak tidur pulas. Tapi ternyata tidak. Saya malah berpikir yang buruk-buruk. Dasar emak-emak memang kadang ribet. Disuruh berpikir positif kadang susah benar. 😆
Ibu, Aku Salah Apa, ya?
Pukul 15.00 WIB, saya membangungkan Jasmine karena harus mengaji. Saat saya sedang membantu menyiapkan baju ganti, dia tiba-tiba tanya "Ibu, aku salah apa ke Wina, ya?"
Mulai dari pertanyaan tersebut, akhirnya rasa penasaran saya pelan-pelan mulai terjawab. Sebut saja Wina. Dia ini teman sepermainannya. Singkat cerita, ternyata Wina tiba-tiba tidak mau main dengan Jasmine. Tanpa menjelaskan ada apa, Wina langsung pergi dengan teman lainnya. Ini sungguh masalah yang sangat umum terjadi di usia anak-anak ya, Bun. Tapi tidak tahu kenapa, saya merasa kasihan betul sama anak saya. Malah rasanya seperti sakit hati, mellow. Hahaha. Tapi kemudian saya ingat bahwa posisi saya saat ini adalah sebagai orang tua. Ada yang harus saya sembunyikan untuk sementara waktu demi "kesehatan" anak.
Dalam kondisi seperti ini, orang tua harus punya waktu khusus untuk ngobrol bersama anak. Yups, saya biasanya meminta waktu khusus buat ngobrol supaya saya tahu apa yang dirasakan anak, apa yang ada dipikiran anak, dan kemungkinan-kemungkinan kedepannya setelah anak merasa seperti patah hati.
Sebenarnya permasalahan seperti ini bisa diselesaikan sendiri di level anak-anak. Maksudnya, masalah anak-anak ya diselesaikan anak-anak juga. Paling sehari setelahnya bakalan main bareng lagi karena mood mereka memang kadang selabil itu. 🤭 Tapi saya memilih untuk deep talk karena menurut saya ini menjadi momen.
Mengajarkan Anak Untuk Mencintai Diri Sendiri.
Mencintai diri sendiri sepenuhnya, baik dalam mencintai kelebihan maupun kekurangan diri sendiri menjadi salah satu modal penting dalam kehidupan. Ketika ada teman yang tiba-tiba menjauh, anak tidak khawatir berlebihan karena dia sudah belajar mencintai diri sendiri sejak usia dini.
Bagi saja, mencintai diri sendiri itu bukan hanya soal penampilannya saja. Lebih dari itu, anak harus punya bekal kuat ketika nantinya dihadapkan dengan gagasan bahwa apa yang ada pada diri mereka itu buruk, mereka sudah punya rasa percaya diri dan siap menghadapi berbagai komentar negatif.
Berikut beberapa cara mengajarkan anak untuk mencintai dirinya:
1. Mengajak Anak Bicara Positif Tentang Dirinya.
Bun, mungkin anak kerap berkata "Rambut aku kenapa jelek ya. Bun? Atau, kenapa aku kurus banget ya, Bun. Jadi jelek gini."
Orang tua harus memperhatikan betul ketika anak sudah mulai berkata negatif tentang dirinya. Ini bukan hal sepele lho, Bun. Melainkan hal serius karena khawatirnya akan menjadi kebiasaan nantinya. Yang harus dilakukan, Bunda dapat mengajarinya untuk mengubah kalimat negatif menjadi positif.
Saat anak mulai merasa kurang percaya diri, Bunda bisa mengajaknya berkaca di depan cermin sambil memegang tangannya dan pelan-pelan meyakinkan anak dengan kata-kata positif seperti "sayang tidak kurus, kok. udah pas, terpenting sehat!"
2. Memvalidasi Perasaan Anak Tentang Diri Mereka.
Anak-anak kadang masih suka terbawa dengan apa yang dikatakan oleh temannya tentang diri mereka. Ini menjadi salah satu yang membuat anak belum bisa mencintai dirinya. Di sini orang tua pelan-pelan dapat mulai memvalidasi perasaan anak tentang diri mereka karena kadang anak perlu didorong untuk melihat ke dalam diri mereka dan mencari tahu bagaimana perasaan mereka akan diri sendiri.
3. Memvalidasi Rasa Tidak Percaya Diri Anak.
Nah, ketika anak mulai merasa tidak nyaman, atau tidak percaya diri mereka mungkin akan mulai menyampaikan hal-hal yang sekiranya membuat anak tidak percaya diri. Jika benar terjadi, orang tua harus memvalidasi perasaan anak. Setelah tervalidasi, baru bisa melakukan deepl tak dengan anak.
Proses belajar mencintai diri memang tidak mudah. Namun jika dari usia dini sudah bisa belajar mencintai dirinya, anak akan lebih mudah mengenali diri sendiri dan dapat dengan mudah menghargai orang lain. Konsisten dan sabar adalah kunci utama untuk mengajarkan anak belajar mencintai dirinya.💓