• Home
  • About
  • Jasmine
  • Wildan
  • Hiroku
  • Kesehatan
  • Tumbuh Kembang
  • Parenting
  • Jalan Jajan
Puluhan tahun silam, zaman masih gadis dan alay maksimal, bagi saya memanjangkan kuku menjadi hal yang sangat menyenangkan. Terlebih jemari saya ini termaduk tipe yang lentik dan kuku pun demikian. Dibiarkan panjang sedikit saja rasanya udah kece maksimal. Eh, mohon maaph kalau ternyata menjadi narsis. 🤣

Lanjut narsis, ya. 🤭Punya kuku panjang, pakai kutek, kemudian ujung kuku dibentuk setengah lingkaran. Subhanallaah...ini kuku tambah manis banget dan rasanya tidak rela jika tangan ini harus mencuci piring apalagi baju. Kenapa cobaaaa? Karena setelah cuci-cuci si kuku pasti lembek dan itu menjadi rawan patah. Pokoknya begitu sayangnya saya sama si kuku panjang yang kalau buat nyakar pasti sakit. 😝

memanjangkan kuku saat masih punya balita


Masa-masa Tidak Rela Kuku Sampai Patah.

Kuku yang sudah panjang, lentik, dan tiba-tiba  patah, tuh, bikin nyesek dan kesal. Saking tidak relanya, saya pernah menangis cuma gara-gara kuku patah setelah cuci baju. Dan anehnya, saya sempat marah-marah sama Ibu padahal yang saya cuci adalah baju saya sendiri. 😂 Eh, ini nyuci bajunya masih manual, ya. Belum pakai mesin cuci. 🤭

Sebenarnya kuku ini tidak begitu penting untuk sebuah penampilan. Tentu bukan buat penampilan seorang artis, dong. Karena mereka sudah pasti sangat memperhatikan penampilan dari ujung kepala sampai ujung kaki, detil banget. Namun, bagi sebagian orang yang punya kuku panjang, nail body yang juga panjang, bisa menambah tingkat percaya diri. Saya pernah mengalaminya selama beberapa bulan. Banyak yang memuji jemari ini lentik! Dan saya ke-GR-an, dong.💅

Namun Kondisi Berbalik 180° Saat Saya Punya Anak.
 
Ternyata perihal memanjangkan kuku itu punya masanya. Khususnya bagi saya. Tepatnya semenjak lulus kuliah, saya terbiasa dengan kuku pendek. Karena kebetulan kerjanya sering bersinggungan dengan ketik-ketik, rasanya lebuh nyaman punya kuku pendek. Terasa ada ikatan tersendiri dengan keyboard. Hahaha. Lanjut berkeluarga dan punya Syaquita, saya risih banget kalau kuku sampai panjang meskipun hanya sedikit. Makanya, sata sering potong kuku minimal seminggu sekali.

Menjadi seorang Ibu ada banyak hal yang musti diperhatikan, salah satunya yaitu menjaga kebersihan kuku. Yups, Ibu menjadi salah satu orang yang sering merawat si kecil. Mulai dari memandikan, mengoleskan minyak kayu putih, sampai dengan membersihkan kotoran di telinga. 

Tidak terbayang jika saya masih suka memanjangkan kuku, pasti akan susah merawat si kecil untuk aktivitas tertentu. Rasa-rasanya akan kurang maksimal. Dan yang perlu diperhatikan banget, tuh, ketika Ibu tetap membiarkan atau menginginkan kukunya panjang saat masih punya bayi atau balita. Ini dapat membahayakan, ada kemungkinan membuat kulit si kecil lecet.

Btw, kamu punya cerita tentang memanjangkan kuku? Yuukkk...bagikan di sini!


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hello, Parents! Melihat anak yang punya potensi atau minat berbisnis sejak usia dini, tuh, rasanya latto-latto. Eh, maksudnya nano-nano alias banyak rasa. 🤭Tidak hanya bahagia saja, tapi juga bingung, khawatir, sampai takut. Iya, takut kalau nantinya anak akan sangat menikmati kegiatan barunya, lalu lupa akan kewajibannya, khususnya sebagai pelajar. Ini yang saya rasakan ketika anak meminta izin untuk mulai jualan aksesori dan alat tulis.

Belajar Bisnis untuk Anak-Anak

Saya dan suami sama-sama kaget ketika Jasmine meminta izin kepada kami untuk belajar jualan aksesori. Awal mulanya, dia meminta kepada saya untuk dibelikan ikat rambut yang lucu-lucu untuk dipakai setiap harinya. Tanpa berpikir lama, saya pun memberikan akses kepadanya untuk memilih beberapa macam ikat rambut di e-commerce kesayangannya. Setelah selesai memilih, dia meminta kepada saya untuk mengecek satu per satu barang yang telah dipilihnya. Dan saya kaget pas melihat keranjang belanja, dong. Beli ikat rambut sampai 100 ribuan! Ini beli ikat rambut atau ikatan cinta, ya. 😂

Ibu, Aku Boleh Jualan?

Tadinya saya pikir karena ongkos kirimnya yang mahal, ternyata pilihannya juga banyak. Daaan, yang paling bikin saya kaget, dia punya maksud lain atas belanja ikat rambut yang jumlahnya tidak sedikit, yaitu menjual kembali barang-barang yang sudah dibeli. FYI, yang dia beli tidak hanya ikat rambut saja, tapi juga ada beberapa alat tulis yang lucu-lucu. Mulai dari pensil, bolpoin, sampai mini notes. Pantas saja setelah saya centang semua habisnya lumayan banyak. Di luar dugaan banget karena saya kira dia paling membeli ikat rambut satu atau dua macam saja.

Tidak hanya kaget saat melakukan check out, tapi saya juga kaget karena tiba-tiba anak pertama kami minta izin untuk berbisnis. Iya, barang-barang yang sudah dia beli beberapa akan dijual. Mulut ini rasanya ingin langsung meng-iya-kan permintaannya, langsung mengizinkannya. Tapi tidak tahu kenapa, tiba-tiba hati ini berkata lain. *tsaahh. Bola mata kami pun saling beradu. Tidak hanya saya dan suami, tapi juga dengan Jasmine. Kami bertiga saling memandang dengan tatapan penuh tanda tanya. 😆

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin langusung mengizinkan Jasmine untuk berjualan aksesori. Apalagi mengingat saya dan suami sama-sama punya jiwa bisnis meskipun tipis-tipis. Rasanya tidak ada alasan untuk menolak niat baiknya untuk belajar berjualan.

Saya merasa bahagia dan bangga ketika anak punya niat untuk berjualan tanpa kami minta. Namun ada banyak pertimbangan ketika kami betul-betul mengizinkan Jasmine yang saat ini kelas satu SD untuk mulai jualan. Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya saya dan suami bersepakat untuk mengizinkan Jasmine jualan aksesori dan alat tulis dengan beberapa catatan. Ini catatannya khusus untuk dia, bukan untuk orang tuanya.😄

5 Hal yang Harus Disampaikan Kepada Anak Ketika Akan Mulai Berbisnis.

Tujuan orang dewasa ketika berbisnis yaitu untuk menghasilkan cuan, cuan. cuan dan cuan! Terlebih bagi mereka yang memang berprofesi sebagai pebisnis. Nyaris setiap hari yang ada di otaknya yaitu bagaimana caranya supaya dapat menghasilkan banyak cuan dalam bisnis yang sedang dijalani. Berbeda dengan anak-anak, khususnya bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Untuk mulai menjalankan bisnis harus betul-betul disusun sebuah strategi yang tepat supaya tidak mengganggu kegiatan sekolah, bersosialisasi dengan teman-teman, dan kegiatan lainnya agar tidak menghambat tumbuh kembang anak-anak sesuai usianya.

Berikut 5 hal yang saya sampaikan kepada Jasmine ketika akan mulai belajar bisnis.

  • Sampaikan Bahwa Saat Ini Dia Adalah Pelajar.

Sebelum Jasmine mulai aktif berjualan, saya menyampaikan kalau saat ini dia adalah pelajar, bukan pebisnis. Ini saya lakukan supaya dia tidak terlalu serius dalam berjualan. Yakali, anak masih usia tujuh tahun sudah mau fokus berbisnis. Mungkin di luar sana ada anak-anak yang sudah mulai fokus dengan bisnis sejak usia dini. Tidak masalah karena itu juga pilihan. Namun bagi saya, penting dalam memberikan pemahaman bahwa untuk saat ini fokusnya adalah sebagai pelajar dan kewajibannya adalah belajar. 

Jasmine sudah paham hal ini. Dan ketika saya bertanya tentang pelajarannya di sekolah, termasuk ada pekerjaan rumah atau tidak, dia langsung menghentikan aktivitas packing barang atau merapihkan uang hasil jualannya. 
  • Bisnis Itu Bukan Sekadar Cari Untung.
Ini wajib banget disampaikan kepada anak karena khawatirnya yang ada dalam pikirannya ketika mulai belajar bisnis yaitu cuan cuan cuan! Meskipun masih belajar dan tidak tahu nantinya bakal konsisten atau tidak, saya memberikan pengertian kepada Jasmine bahwa dalam menjalankan bisnis itu bukan sakadar mencari untung, tapi ada banyak hal yang harus diperhatikan, salah satunya yaitu pembeli. Saya merasa dia harus tahu bagaimana caranya melayani pembeli atau memberikan perhatian kepada pembeli dengan cara berkomunikasi dengan baik. Lebih dari itu, saya juga menyampaikan bahwa bisnis dengan cara berjualan, tuh, capek. Apalagi jika berjualan dengan cara door to door, butuh banyak tenaga.

  • Penting Untuk Mengenalkan Cara Berjualan.
Saat sedang berdiskusi, saya sempat tanya-tanya kepada Jasmine, kira-kira di mana dia akan berjualan. Dengan penuh semangat, dia menjawab kalau akan mulai berjualan di sekolah saat jam istirahat. Dia juga katanya akan berjualan di TPQ saat sebelum atau sesudah mengaji. Dududuh...langsung was was hati Ibun. Hahaha. Khawatir nanti dapat teguran dari Guru atau Ustadzah, repot juga, ya. Apalagi kalau sampai dapat teguran dari wali murid, tambah repot. Tapi tidak apa karena semua hal positif memang harus dicoba supaya tahu reaksinya nanti. 😄

Terlepas dari niatnya yang ingin berjualan di Sekolah dan TPQ, saya mengenalkan dua cara berjualan yaitu cara online dan offline. Namun untuk kali ini, saya lebih mengarahkan cara bejualan secara offline karena sasaran konsumennya saat ini adalah teman dekat dan teman sepermainannya.

  • Sampaikan Juga Kendala-Kendala yang Bakal Dihadapi.
Ini karena saya terlalu khawatir dia bakal down saat teman-temannya ternyata kurang berminat dengan apa yang dia jual. Hahaha. Rasanya tidak terbayang patah hatinya seperti apa ketika sedang mulai belajar bisnis tapi ternyata barangnya tidak diminati teman-temannya. Makanya dari awal saya berusaha untuk menguatkan mental dia dan juga menyampaikan kendala-kendala yang bakal dihadapi nantinya saat berjualan seperti malu ketika hendak mulai menawarkan jualannya. Atau, ada teman yang menawar dengan harga rendah.

  • Memberikan Contoh Pengalaman Bisnis.
Pada blog post tentang Ide Bisnis Untuk Anak-Anak, saya menuliskan kalau Jasmine kerap membantu saya packing bisnis oleh-oleh khas Banjarnegara by Dipayuda. Saya pun memberikan contoh dan gambarannya tidak jauh-jauh, cukup dari pengalaman saya berbisnis yang mana tidak setiap hari ada yang beli. Dan yang paling bikin senang, tuh, kalau ada pesanan. Terus, kalau lagi tidak ada pesanan, apa yang bisa dilakukan? Cari ide baru untuk mempromosikan jualannya. Bisa juga dengan memberikan promo atau diskon supaya lebih menarik. Terpenting promo yang diberikan tidak membuat rugi. 😆

Pengetahuan dia tentang berjualan, tuh, sudah cukup luas. Saya tahu saat sedang ngobrol-ngobrol. Dan selain ikat rambut, dia juga ingin jualan mainan anak yang lucu-lucu buat kado ulang tahun, katanya.

Pengalaman Mengizinkan Anak Berbisnis.

Katanya, sekarang harus pandai-pandai menangkap peluang bisnis. Ketika anak-anak sudah mulai tertarik dalam dunia bisnis, ya kenapa tidak diizinkan dan didampingi untuk belajar berbisnis, ya. Karena saya sendiri sangat yakin, ketika sejak usia dini sudah tertarik dengan dunai bisnis maka saat dewasa nanti bisa jadi akan melanjutkan belajar berbisnis dengan bekal pengalaman berbisnis saat masih duduk dibangku SD atau SMP.

Perihal hasil berupa untung, orang tua bisa mulai menyampaikan pelan-pelan kepada anak. Ya...itung-itung sambil belajar Matematika dan belajar mengelola uang. Jangan lupa untuk membekali mental kepada anak ya, Bunda. Supaya mereka sedikit tahu dan paham risiko-risiko berbisnis.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hello, Parents! Sebagai orang tua yang anaknya sudah masuk dunia pendidikan pasti tidak asing dengan kegiatan market day, ya. Saat ini, banyak sekolah yang mengadakan kegiatan tersebut yang mana memiliki tujuan untuk menumbuhkan jiwa entrepreneurship pada anak-anak. Kabar bahagianya, kegiatan ini mulai dilakukan di bangku Sekolah Dasar (SD), tidak hanya dilakukan oleh anak-anak SMP atau SMA.

Ide Belajar Bisnis Untuk Anak-Anak

Selain pro dan kontra tentang anak dijadikan konten, mengajak anak belajar berbisnis di usia dini bisa juga menimbulkan pro dan kontra, lho. Tentu kontra ini terjadi di luar kegiatan sekolah, dong. Maksudnya, saat sekolah sedang tidak melaksanakan kegiatan market day tapi ada anak yang membawa barang ke sekolah dengan maksud untuk dijual. Bisa jadi ada beberapa orang tua yang memberikan komentar tidak menyenangkan hati. Misalnya, masih kecil sudah disuruh cari uang. Atau, bukannya sekolah disuruh fokus belajar malah disuruh sambil jualan. Orang tua macam apa! Hahaha.

Ya...kira-kira komentar-komentar "sedap" seperti di atas kadang menjadi perbincangan hangat di kalangan orang tua atau wali murid yang melihat langsung ada anak sedang belajar berbisnis di sela sela jam istirahat atau saat pulang sekolah. Mungkin bisa juga menjadi perbincangan tetangga atau saudara ketika melihat anak-anak usia dini berjualan di sekitar rumah. Duh...anak-anak bisa patah hati, nih, kalau sampai dengar cap cis cus dari orang-orang yang tidak tahu atau tidak paham tujuan mereka berjualan. 😆

Saya akan menulis perihal tips sukses belajar bisinis untuk anak-anak pada postingan berikutnya, ya. Sekarang, saya mau sharing ide belajar bisnis untuk anak-anak. Ide bisnis ini saya khususkan untuk anak usia dini atau SD sesuai dengan pengalaman saya yang mengizinkan Jasmine belajar berbisnis sejak dia mulai masuk SD. Tapi ide-ide yang saya bagikan bisa juga dieksekusi oleh anak SMP atau SMA karena sangat memungkinkan.

Mendukung Anak Belajar Bisnis.

Saya tidak pernah menyangka Jasmine tertarik untuk belajar bisnis sejak usia dini. Iya, masih SD tapi sudah tertarik untuk berbisnis. Padahal jika saya melihat potensi yang ada dalam dirinya, tuh, seperti belum tampak jiwa-jiwa kewirausahaan. Iya, jiwa seorang wirausaha yang saya tahu, tuh, salah satunya yaitu punya rasa percaya diri. Sementara dia anaknya masih pemalu, persis seperti Ibuknya. Hahaha. Jadi wajar saja kalau saya agak kaget ketika dia meminta izin untuk berjualan aksesori di sekolahnya.

Awal mula dia punya keinginan berjualan aksesori, tuh, karena dia kerap membuat kerajinan tangan sederhana yang memang belum sempurna. Membuat dompet dari kertas, misalnya. Dia kerap memberikan hasil kerajinan tangannya kepada saya atau Ayahnya untuk kemudian dinilai. Awalnya hanya sekadar nilai seperti seorang guru yang menilai hasil pekerjaan siswa. Namun, lama-lama dia meminta pendapat kepada kami tentang kelayakan jual. Tentu kami bingung, dong. Secara hasil karyanya memang masih jauh dari kata sempurna dan saya pun yakin tidak ada seorang pun yang mau membelinya. Hahaha. Ya mohon maaph ya, sayang. Bukan berarti Ibuk tidak menghargai.

Hampir setiap hari anak perempuan saya ini menghabiskan satu sampai dua pack kertas origami yang saya belikan. Eh, lama-lama hasil karyanya diberi label harga, lho. Yang menurutnya adalah dompet padahal belum berbentuk dompet, tuh, diberi harga Rp 1.000,-. Saya spontan tertawa, dong. Apalagi saat ditodong buat membelinya. Asli, geli banget rasanya. Tertawa sampai perut sakit. Pun dengan suami. Beruntung Jasmine tidak tersinggung dengan kespontanan kami ini. Dia tetap dengan percaya diri menawarkan hasil karyanya yang sudah dibuat seharian saat kami bekerja.

Pada akhirnya, kami pun hampir setiap hari membeli hasil kerja kerasnya mulai dari harga Rp 500 sampai dengan Rp 2.000,-. Gemas, bukan? Dan kami pun terus membelinya sesuai dengan harga yang tertera. Sesekali kami melakukan penawaran dan kadang langsung dia setujui, kadang juga dia tetap pada pendiriannya. Tidak ada promo, tidak ada diskon. Hahaha. No problem karena kami menganggap ini sebagai bentuk dukungan atau apresiasi buat dia yang sedang belajar membuat sebuah karya. Itung-itung buat nambahin uang jajannya atau menambah uang tabungannya, ya. Hahaha.

3 Ide Belajar Bisnis Untuk Anak-Anak.

Di usia dini, anak-anak memang sangat disarankan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan baginya. Bermain menjadi aktivitas yang dapat membuat moodnya bagus. Namun bukan hanya bermain saja, jika sudah mulai masuk SD tidak ada salahnya anak mencoba hal-hal baru seperti belajar berbisnis.

Jasmine ada ketertarikan berbisnis mungkin karena melihat keseharian orang tuanya saat di rumah sibuk dengan gadgetnya untuk berjualan online. Iya, kebetulan suami aktif berjualan sebagai reseller baju anak-anak. Kemudian, Jasmine kadang ikut membantu saya packing olah-oleh khas Banjarnegara yang dipesan secara online melalui Dipayuda. Mulai dari sini, mungkin dia juga ingin punya aktivitas bisnis.

Karena masih usia dini, ada baiknya mengenalkan bisnis kepada anak-anak, tuh, yang sederhana saja. Iya, tidak perlu mengajarkan bisnis yang sulit kepada anak. Cukup gunakan kreativitas yang dimiliki oleh anak dan biarkan ia bermain dengan bisnisnya sendiri. Namun, ketika anak mulai merasa kesulitan atau mendapatkan masalah, orang tua bisa membimbingnya.

Nah, berikut 3 ide belajar bisnis untuk anak-anak usia dini.

1. Bisnis Aksesori.

Ide belajar bisnis untuk anak-anak di urutan pertama yaitu bisnis aksesori. Ngomongin aksesori, tuh, identik dengan anak perempuan, ya. Kebetulan anak pertama saya yang mulai senang berbisnis ini perempuan. Rekomendasi ide bisnis aksesori pun menjadi pilihan Jasmine ketika belajar berbisnis.

Ada banyak macam aksesori yang dapat dijual. Aksesorinya ini bisa buat sendiri atau bisa juga beli. Misalnya, ikat rambut, bros, bando, gelang persahabatan, dan lain-lain. Membuat aksesori ini modalnya tidak besar. Kalau saya memilih untuk membeli di e-commerce untuk kembali dijual lagi. Modal awalnya kira-kira Rp 50 ribu, pelan-palan saja terpenting anak merasa enjoy. 

2. Bisnis Makanan dan Minuman.

Nah, ide bisnis nomor dua ini sangat mungkin dilakukan dan banyak potensi cuan kalau yang dijual sesuai selera anak-anak. Hahaha. Orang tua yang punya hobi membuat snack, bisa banget kolaborasi dengan anaknya untuk turut memasarkan dagangannya, lho. Apalagi saat ini, tuh, anak-anak dilarang jajan di luar sekolah kecuali jika sudah jam pulang. Selain membawa bekal dari rumah, anak-anak diperbolehkan jajan di kantin sekolah. Tapi kalau di kelasnya ada yang membawa makanan atau minuman, banyak kemungkinan teman-temannya join buat beli.

3. Bisnis Alat Tulis yang Lucu-Lucu!

Ide bisnis yang terakhir ini juga dilakukan oleh anak saya. Dia kerap scroll toko online untuk memilih alat tulis yang lucu-lucu, lho. Mulai dari pensil, pulpen, rautan, buku catatan, sampai dengan spidol warna-warni yang saat ini lagi hits banget di TikTok. Hahaha. Emang kalau udah punya jiwa bisnis, tuh, apa saja dijadikan peluang ya, Bun. Lihat barang lucu menurutnya langsung saja diviralkan di kelas, lalu pada order. Ya ampuunn! Ini yang pesan tidak hanya teman cewek saja, lho. Kadang ada juga temen cowoknya pesan. 

Belajar Bisnis Sejak Usia Dini, Kenapa Tidak?

Katanya, sekarang harus pandai-pandai menangkap peluang bisnis. Ketika anak-anak sudah mulai tertarik dalam dunia bisnis, ya kenapa tidak diizinkan dan didampingi untuk belajar berbisnis, ya. Karena saya sendiri sangat yakin, ketika sejak usia dini sudah tertarik dengan dunai bisnis maka saat dewasa nanti bisa jadi akan melanjutkan belajar berbisnis dengan bekal pengalaman berbisnis saat masih duduk dibangku SD atau SMP.

Perihal hasil berupa untung, orang tua bisa mulai menyampaikan pelan-pelan kepada anak. Ya...itung-itung sambil belajar Matematika dan belajar mengelola uang. Jangan lupa untuk membekali mental kepada anak ya, Bunda. Supaya mereka sedikit tahu dan paham risiko-risiko berbisnis.

Parents punya ide belajar bisnis untuk anak-anak? Bolehlah menambahkan di kolom komentar.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hello, Parents! Pada suatu pagi, saya melihat seorang laki-laki dewasa sedang mencuci piring dan peralatan masak di wastafel dapur. Wajan yang baru dipakai untuk memasak, dicuci sampai dua kali. Betul-betul terlihat sangat bersih, cling, dan kesat. Sampai dia mempraktekkan, telunjuknya menyentuh wajan bagian depan yang baru saja dicuci bersih.

Kegiatan cuci wajan sampai cling itu saya lihat di iklan sabun cuci piring, dong. 🤭

Tapi tenang, saat ini banyak juga laki-laki di dunia nyata yang sudah membiasakan melakukan pekerjaan rumah tangga, ya. Apalagi mereka yang sudah terbiasa hidup mandiri, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut bukan lagi hal yang tidak menyenangkan karena sudah masuk dalam aktivitas harian. Terlepas dari mandiri, bisa jadi dia sudah dibekali orang tuanya sejak usia dini untuk turut menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Melibatkan Anak Laki-Laki Dalam Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga

Melibatkan Anak Laki-Laki Dalam Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga.

Siapa bilang pekerjaan rumah tangga hanya bisa dilakukan oleh perempuan atau hanya bisa diajarkan kepada anak perempuan saja. Faktanya banyak petugas cleaning service atau koki laki-laki. Tiap anak itu memang unik dan alhamdulillah anak laki-laki saya termasuk yang mau membantu pekerjaan Ibunya. Dia juga jarang menolak jika saya melibatkannya untuk melakukan pekerjaan rumahan. Drama dan kendala pasti ada, namanya sedang belajar, ya. Terpenting orang tua mau menikmati prosesnya. Iya, tidak banyak orang tua yang mau menikmati proses ketika anak laki-lakinya sedang mulai belajar membantu pekerjaan rumah tangga.

Mungkin Ayah atau Ibu pernah tidak sengaja memegang tangan anak laki-lakinya ketika menjumpainya sedang mencuci gelas kaca. Tangan orang tua spontan memegang tangan anak seperti sebuah kode menghentikan dari aktivitas cuci gelas. Atau, yang kadang bikin anak kaget tuh ketika orang tua merebut gelasnya karena khawatir jika anak belum bisa hati-hati dalam melakukan pekerjaan. Khawatir juga gelas itu bakal pecah di tangannya hingga menyebabkan luka.

Selain itu, kadang muncul permasalahan lain yaitu orang tua khawatir apa yang sudah dikerjakan anak laki-lakinya tidak maksimal dan malah jadi dua kali kerja. Sungguh ini perasaan yang wajar banget, ya. Hanya saja orang tua harus mampu mengendalikan perasaan tersebut dan dapat mengubahnya menjadi kegiatan bonding bermakna bersama anak laki-lakinya. 

Kegiatan mencuci peralatan makan tidak lagi membuat khawatir dan jauh dari kata-kata bahaya jika dilakukan bersama-sama. Orang tua mendampingi anak laki-lakinya dalam menyelesaikan aktivitas tersebut. Anak pun menjadi lebih paham bagaimana dapat menuntaskan pekerjaan rumah tangga dengan baik dan benar. Satu yang perlu diingat, ada baiknya orang tua dapat melakukan kegiatan bersama anak ini ketika sedang tidak dalam keadaan tergesa-gesa. Saat akhir pekan, misalnya. Jadi, perasaan orang tua lebih tenang dan anak pun melakukannya penuh dengan kegembiraan. 😉 


Cara Membiasakan Anak Laki-Laki Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga.

Apakah Ayah Ibu pernah mengobrol dengan anak laki-laki atau ponakan laki-laki perihal pekerjaan rumah tangga? Anak-anak tentu kerap melihat pekerjaan rumah tangga yang dilakukan orang tuanya sekalipun di rumah ada Asisten Rumah Tangga (ART). Iya, meskipun kesehariannya dibantu oleh ART, tapi bukan berarti seorang Ibu melimpahkan semua pekerjaan rumah tangga kepada ART dong, ya. 😆

"Kami sudah membayar mahal ART, lho. Ngapain masih repot mengurus pekerjaan rumah tangga."

Naluri seorang Ibu untuk turut menyelesaikan pekerjaan rumah tangga pasti ada sekalipun sudah ada ART. Entah berapapun persentasenya. Apalagi bagi para Ibu yang ingin mengenalkan pekerjaan rumah tangga kepada anak-anaknya, mereka dengan penuh semangat turut andil melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dikenal tidak akan ada habisnya. 

Cara Membiasakan Anak Laki-Laki Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga.

Saya sendiri termasuk Ibu yang turut mengerjakan rutinitas harian sebagai IRT sekalipun punya ART di rumah. Harapannya apa yang saya kerjakan di rumah meskipun tidak banyak, dapat mengundang perhatian anak-anak. Mulai dari sini, saya yakin anak-anak tergerak hatinya dan tertarik untuk turut membantu Ibunya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang sedang dikerjakan.

1. Membiasakan Sejak Anak Usia Dini.

Mengawali kebiasaan baik, orang tua dapat mengenalkan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga kepada anak laki-laki sejak usia dini. Mengajarkan apa saja kepada anak memang lebih mudah jika dilakukan sejak kecil. Apalagi kebiasaan-kebiasaan baik, jika ditumbuhkan sejak usia dini maka hasilnya akan lebih maksimal.

Orang tua dapat memberikan contoh sederhana yaitu dengan mengajaknya membereskan kamar tidur sebelum dan setelah bangun. Kegiatan ini jika dilakukan secara rutin akan menjadi kebiasaan dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Jangan lupa sesuaikan dengan usia anak untuk memulai mengenalkan pekerjaan rumah tangga. Lakukan secara bersama-sama sampai anak paham bahwa ada beberapa pekerjaan rumah tangga yang sudah dapat ia kerjakan dan pada akhirnya menjadi kebiasaan yang berkelanjutan atau konsisten.

2. Hindari Membedakan Peran Antara Anak Laki-laki dan Perempuan Ketika Di Rumah.

Pada dasarnya, pekerjaan rumah tangga dapat dilakukan oleh anak perempuan dan juga anak laki-laki. Hanya saja memang kadang ada orang tua yang membatasinya, mana yang sekiranya bisa dilakukan anak laki-laki dan mana yang tidak boleh dikerjakan anak perempuan. Batasan-batasan itu yang membuat adalah orang tua sendiri sebagai orang terdekat, bukan orang lain. Padahal untuk pekerjaan rumah tangga, tuh, bebas saja. Apalagi buat anak-anak yang masih dalam tahap belajar, baiknya orang tua harus menghindari membedakan peran antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Kebetulan saya punya dua anak, perempuan dan laki-laki. Keduanya dekat dengan saya dan juga Ayahnya. Artinya, mereka tidak ada rasa canggung untuk membantu pekerjaan kami. Contohnya, ketika saya butuh bantuan untuk menyapu halaman, mereka akan bersama-sama ikut menyapu halaman. Atau, ketika Ayahnya sedang mencabut rumput liar di lingkungan rumah, mereka pun kadang mendekati Ayahnya dan turut mencabut rumput.

Saya rasa anak-anak dapat membantu pekerjaan rumah tangga asalkan diberi arahan dan didampingi jika perlu. Dan pekerjaan rumah tangga itu tidak harus dikerjakan anak perempuan saja, anak laki-laki pun mampu jika sudah dibiasakan sejak usia dini.

3. Buatlah Jadwal Mengerjakan Pekerjaan Rumah Bersama Anak.

Mungkin buat orang tua yang kesehariannya cukup padat aktivitasnya, cara ketiga ini bisa menjadi solusi. Yaitu dengan membuat jadwal mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama anak. Orang tua dapat membagi langsung pekerjaan rumah tangga atau berkolaborasi. Sebagai contoh yaitu jadwal mencuci piring atau menyapu rumah. Antara anak laki-laki, anak perempuan, Ibu, dan Ayah, punya tugas yang sama di hari yang berbeda.

Membuat jadwal seperti ini juga sebagai salah satu trik jika anak sudah mulai beranjak dewasa. Kadang mereka banyak melakukan kegiatan di luar rumah. Apalagi anak laki-laki, ya. Ada kegiatan olahraga, nongkrong, dan kegiatan lain untuk eksistensi diri. Jika tidak dibuat jadwal bisa jadi mereka betah berlama-lama di luar rumah. 😆 Terpenting dibuatkan jadwalnya ya, Bun. Supaya selalu ingat rumah, ingat ada tanggung jawabnya, dan ingat juga dengan keluarganya di rumah.

Membagi Pekerjaan Rumah Tangga Dengan ART.

Saya sadar karena anak-anak masih usia dini, jadi masih butuh perhatian lebih dari ART ketika saya sedang berkerja di luar rumah. Makanya, jika ada pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan oleh ART pada hari itu juga, saya mencoba menerimanya karena prioritas saya terpenting anak-anak merasa aman dan nyaman di rumah saat orang tuanya sedang bekerja.

Saya juga sadar dengan keterbatasan waktu yang saya miliki untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Makanya, saya selalu berusaha untuk melakukan komunikasi untuk membagi pekerjaan rumah dengan ART. Seberapa pun waktu yang saya punya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, saya gunakan semaksimal mungkin. Lebih dari itu, saya juga minta tolong ke ART untuk melibatkan pekerjaan rumah dengan anak-anak ketika saya tidak di rumah. Pekerjaan yang dibagikan tentu bukan pekerjaan orang dewasa, tapi pekerjaan yang sekiranya bisa dilakukan oleh anak-anak. Mencuci piring setelah makan, misalnya.

Melibatkan anak-anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah impactnya akan sangat terasa. Semudah apa pun pekerjaannya karena kami sudah merasakannya. 😉Kalau Ibu dan Ayah punya cara lain untuk membiasakan anak laki-laki melakukan pekerjaan rumah tangga, boleh sharing di kolom komentar, ya!

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hello, Parents! Meskipun bukan dari kalangan publik figur, bukan juga seorang selebriti, tapi saya tertarik nimbrung tentang pro dan kontra anak dijadikan konten. Eh, ini nimbrungnya bukan untuk mencampuri urusan orang lain lho, ya.🤭 Tapi buat pengingat pada diri sendiri karena saya pun kerap mengunggah foto atau video bersama anak-anak di akun media sosial milik pribadi.

anak dijadikan konten

Sebelum menulis blog post ini, saya menyempatkan diri untuk menonton beberapa video milik seorang Youtuber ternama di Indonesia. Tentu tak lain adalah video yang sempat ramai karena banyak Netizen yang mengomentari aktivitas yang dilakukan si Youtuber cantik yang sekarang sudah menjadi seorang Ibu. Bagi saya penting banget menontonnya, apalagi ketika hendak menuliskan tentang anak yang dijadikan konten oleh orang tuanya. Ya...sekalipun saya tidak akan mengomentari kegiatan mereka yang katanya membahayakan si kecil. Tapi nurani saya terpanggil untuk menonton rekaman video dengan durasi hampir 17 menit.

Selain itu, ada juga berita viral di media sosial yang mana netizen mengomentari artis yang sampai saat ini belum mempublikasikan wajah anaknya. Banyak yang menuliskan komentar katanya rupanya enggak sesuai ekspektasi. Yasalam...memang kadang netizen itu semau-mau banget kalau komentar, ya. Kan memang ada orang tua yang sedari awal berkomitmen atau berniat tidak ingin memperlihatkan wajah anaknya sampai batas waktu tertentu. Di lingkaran pertemanan saya pun ada yang seperti itu, lho. Bukan karena parasnya tidak sesuai ekspektasi, tapi lebih menjaga privacy anaknya.

Merekam Aktivitas Anak Menjadi Salah Satu Kebahagiaan Bagi Orang tua.

Sehari setelah melahirkan secara normal, alhamdulillah kondisi fisik saya berangsur membaik. Kebetulan saya melahirkan saat malam hari, kira-kira pukul 21.50 WIB. Jadi, hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja untuk kembali melihat mentari bersinar. Rasa-rasanya tidak sabar menunggu pagi, menggendong buah hati dan mengajaknya keluar untuk merasakan hangatnya matahari pagi.

Sebelum memulai aktivitas bersama si kecil, saya menyempatkan untuk mengabadikan momen yang bagi new parents seperti saya menjadi salah satu momen istimewa. Dokumentasi foto dan video dalam satu hari saja bisa mencapai puluhan karena merekam aktivitas anak memang menjadi kebahagiaan bagi orang tua. Apalagi jika anak pertama, rasanya ingin terus mendekapnya. Mungkin ini tidak hanya terjadi pada saya, orang tua lain juga merasakan hal yang sama. Dikit-dikit foto. Dikit-dikit video. 😂

merekam segala aktivitas anak


Saya pernah menonton video di TikTok yang tidak sengaja lewat di beranda. Audionya mewakili para Ibu-ibu yang isi otaknya lebih penuh warna. 🤭 Kira-kira audionya seperti ini "ngapain, sih, dikit-dikit foto. dikit-dikit video. mungkin yang bilang gitu enggak sadar kalau hidup itu selalu berjalan cepat. dan kita enggak selalu punya memori buat mengingat. berakhir lupa karena banyak momen yang cuma lewat. foto dan video cuma segelintir syukur buat meromantisisasi apa yang sudah terjadi. biar suatu hari bisa dilihat lagi, dikenang kembali, dan bisa lebih menghargai hidup yang udah kita jalani."

Saya menonton video tersebut yang point of viewnya dari seorang Ibu muda yang sedang menemani anaknya jalan-jalan, main, beli jajan bareng, pokoknya tidak jauh dari aktivitas Ibu dan anak. Dan selesai menonton, ya memang sebagian besar orang tua yang merekam segala aktivitas anak mempunyai tujuan diantaranya sebagai kenangan biar suatu saat bisa dilihat lagi. Sama persis dengan audio di atas. Hanya saja ada orang tua yang memilih hasil dokumentasinya hanya untuk kalangan sendiri atau dinikmati sendiri. Ada juga yang memilih mempublikasikan untuk umum melalui media online.

Menjadi Penikmat Konten Atau Turut Memublikasikan Konten?

Saat mengikuti webinar tentang momen bonding bermakna, new parents Nikita Willy bersama suami berbagi tentang pola pengasuhan anak pertamanya. Mereka juga mengakui jika peran media sosial dapat mempengaruhi orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang si kecil. Makanya, mereka jarang membagikan momen bersama anak di media sosial sekalipun mereka sudah punya parenting style tersendiri dalam mengasuh anaknya.

Mereka bukan takut dengan komentar-komentar netizen yang maha benar itu, sih, tapi merasa tidak ada kewajiban membagikan ativitas bersama anak ke media online. Sesekali mengunggah aktivitasnya, lalu ada komentar dari netizen, mereka sudah bisa mengendalikan diri, dong. Yups, komentar yang sekiranya bermanfaat dapat mereka ambil hikmahnya. Pun sebaliknya, komentar yang dinilai negatif karena mungkin tidak sependapat dengan apa yang telah mereka share, kadang diskip demi menjaga kesehatan mental. Mereka lebih sering tutup mata, tutup telinga.

Menjadi Penikmat Konten Atau Turut Memublikasi Konten


Orang tua zaman now, kita dihadapkan dengan dua pilihan perihal konten yang sudah dibuat. Yaitu tetap bertahan hanya dengan menjadi penikmat konten atau turut mempublikasikan konten.

Sebagai penikmat konten, orang tua dapat menikmati konten-konten yang sudah dibuatnya, hanya dinikmati sendiri sebagai kenangan. Lebih dari itu, mereka juga dapat melihat konten-konten milik publik figur, teman, keluarga, atau selebriti favorit, yang dibagikan melalui media online. Namanya penikmat, ya mustinya menikmati dong, ya. Menikmati tanpa nyinyir atau menghakimi. 🙈

Berbeda dengan para orang tua yang memilih untuk turut mempublikasikan kontennya. Ada baiknya cari tahu batasan-batasan apa saja foto atau video yang boleh dipublikasikan ke media online. Sekalipun konten tersebut milik pribadi, tapi sebelum mengunggahnya harus dilihat, ditonton, berkali-kali supaya tidak menjadi bahan obrolan followers, fans, atau haters. 😂 Yups, konten yang sekiranya dapat "melahirkan" risiko sebaiknya dihold untuk konsumsi pribadi. 

Kadang ada aktivitas bersama anak yang dibagikan di media sosial menurut orang tuanya masih dalam batas wajar. Namun bisa jadi menurut orang tua lain sudah diluar batas wajar. Lalu bagaimana baiknya?

Mungkin banyak orang tua yang berkomentar, "anak-anak gue, terserah gue. repot aman. lagi pula elu kan enggak ikut kasih makan. pikirin amat." 😂

Mari kita berpegangan, Bun. Kita hidup sebagai makhluk sosial. Mau hidup di desa maupun di kota. Dokumentasi mau dinikmati sendiri maupun dibagikan kepada khalayak. Kita tetap harus perbanyak bacaan. Rajin-rajin membaca buku atau artikel tema parenting. Ini sangat membantu untuk menyadarkan atau memfilter konten mana yang layak atau tidak layak diunggah di dunia maya. Iya, kadang perihal publikasi konten di media online juga menjadi PR buat para orang tua. Harus paham konten seperti apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan di media sosial.

Anak Dijadikan Konten, Setuju?

Sebagai seorang Blogger, saya kadang masih susah percaya ketika dihubungi brand-brand ternama di Indonesia dan mengajak kerjasama. Sejauh ini, saya tidak pernah mempermasalahkan kerjasama dengan mereka selagi ketentuannya jelas di awal dan saling menguntungkan. Yaiya, masa mau kerjasama tapi merugikan. 🤭 

Beberapa kerjasama yang ditawarkan kadang ada yang harus melibatkan anak, menyertakan anak ke dalam konten karena produk mereka memang direkomendasikan untuk anak-anak. Kalau sudah seperti ini, saya cukup selektif dalam menerima tawaran dan harus komunikasikan terlebih dahulu dengan anak. Jika anak mau, berarti bisa dilanjutkan kerjasamanya. Dan sebaliknya, jika anak menolak, saya juga tidak bisa melanjutkan kerjasamanya meskipun sudah tahu nilai materinya lumayan.

anak dijadikan konten boleh atau tidak


Lalu, bagaimana dengan konten-konten yang murni tanpa label advertorial?

Nah, kalau ini yang paham boleh atau tidak boleh dibagikan ke publik adalah orang tuanya. Mereka harus punya batasan-batasan tersendiri dan kontrolnya memang ada pada orang tua. Selain berbekal dari hasil membaca dan mengamati, tidak ada salahnya orang tua membuat batasan-batasan konten apa saja yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan di media digital. Selagi tidak merugikan, tidak mendatangkan risiko, tidak melanggar norma, saya rasa tidak masalah anak dijadikan konten.

Orang tua paling tahu apa-apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Orang tua juga paling paham apa-apa yang tidak disukai anak-anaknya. Orang tua paling tahu apa-apa yang sekiranya dapat membahayakan anak-anaknya. 

Dear anak-anak Ibuk yang kerap masuk frame bareng Ibuk, percayalah kalau Ibuk tidak ada maksud jelek saat publikasikan foto atau video di media digital. Insya Allah masih dalam batas wajar dan tidak membuat malu kalian. 💓

Ibuk atau Ayah munkin punya pandangan lain tentang anak yang dijadikan konten oleh orang tuanya? Boleh sharing lewat kolom komentar, ya. 😘
Share
Tweet
Pin
Share
25 komentar
Newer Posts
Older Posts

Cari Di sini

Perkenalkan...

Hai...perkenalkan, saya Idah. Ibuk dari dua anak dan satu-satunya admin di blog ini.

Rutinitas saya saat ini sebagai Ibu Rumah Tangga sekaligus Ibu Pekerja Kantoran. Kami sekarang tinggal di Kota Dawet Ayu, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Oiya, jika ingin komunikasi, bisa melalui akun instagram kami @cerisfamily atau kontak langsung melalui email cerisfamily@gmail.com. Terima kasih.

On Youtube

Fans Page

CERIS Family

Blog Archive

  • ▼  2025 (9)
    • ▼  Mei (2)
      • "Si Manis" yang Mengintai: Cerita di Balik Jajanan...
      • Pet-Loving Dads Edition: Custom Gifts Featuring Th...
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2024 (39)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (28)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (14)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (12)
    • ►  September (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2020 (17)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (42)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (26)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (37)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (61)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2016 (62)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2015 (63)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (2)

Popular Posts

  • Biaya USG 4 Dimensi di RS Panti Nugroho
  • Tujuan Pemeriksaan HB dan HBsAG untuk Ibu Hamil
  • Tip Agar Jahitan Pasca Melahirkan Cepat Kering

recent posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Part Of Community


Blogger Perempuan
mamadaring
Seedbacklink

Follow Us!

Social Media

Facebook Twitter Instagram Youtube Blog Ibu

MageNet

0ccdff8bd3766e1e4fdd711a2ad08ee5151bd247

Created with by ThemeXpose