Pro dan Kontra Anak Dijadikan Konten

by - Januari 15, 2023

Hello, Parents! Meskipun bukan dari kalangan publik figur, bukan juga seorang selebriti, tapi saya tertarik nimbrung tentang pro dan kontra anak dijadikan konten. Eh, ini nimbrungnya bukan untuk mencampuri urusan orang lain lho, ya.🤭 Tapi buat pengingat pada diri sendiri karena saya pun kerap mengunggah foto atau video bersama anak-anak di akun media sosial milik pribadi.

anak dijadikan konten

Sebelum menulis blog post ini, saya menyempatkan diri untuk menonton beberapa video milik seorang Youtuber ternama di Indonesia. Tentu tak lain adalah video yang sempat ramai karena banyak Netizen yang mengomentari aktivitas yang dilakukan si Youtuber cantik yang sekarang sudah menjadi seorang Ibu. Bagi saya penting banget menontonnya, apalagi ketika hendak menuliskan tentang anak yang dijadikan konten oleh orang tuanya. Ya...sekalipun saya tidak akan mengomentari kegiatan mereka yang katanya membahayakan si kecil. Tapi nurani saya terpanggil untuk menonton rekaman video dengan durasi hampir 17 menit.

Selain itu, ada juga berita viral di media sosial yang mana netizen mengomentari artis yang sampai saat ini belum mempublikasikan wajah anaknya. Banyak yang menuliskan komentar katanya rupanya enggak sesuai ekspektasi. Yasalam...memang kadang netizen itu semau-mau banget kalau komentar, ya. Kan memang ada orang tua yang sedari awal berkomitmen atau berniat tidak ingin memperlihatkan wajah anaknya sampai batas waktu tertentu. Di lingkaran pertemanan saya pun ada yang seperti itu, lho. Bukan karena parasnya tidak sesuai ekspektasi, tapi lebih menjaga privacy anaknya.

Merekam Aktivitas Anak Menjadi Salah Satu Kebahagiaan Bagi Orang tua.

Sehari setelah melahirkan secara normal, alhamdulillah kondisi fisik saya berangsur membaik. Kebetulan saya melahirkan saat malam hari, kira-kira pukul 21.50 WIB. Jadi, hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja untuk kembali melihat mentari bersinar. Rasa-rasanya tidak sabar menunggu pagi, menggendong buah hati dan mengajaknya keluar untuk merasakan hangatnya matahari pagi.

Sebelum memulai aktivitas bersama si kecil, saya menyempatkan untuk mengabadikan momen yang bagi new parents seperti saya menjadi salah satu momen istimewa. Dokumentasi foto dan video dalam satu hari saja bisa mencapai puluhan karena merekam aktivitas anak memang menjadi kebahagiaan bagi orang tua. Apalagi jika anak pertama, rasanya ingin terus mendekapnya. Mungkin ini tidak hanya terjadi pada saya, orang tua lain juga merasakan hal yang sama. Dikit-dikit foto. Dikit-dikit video. 😂

merekam segala aktivitas anak


Saya pernah menonton video di TikTok yang tidak sengaja lewat di beranda. Audionya mewakili para Ibu-ibu yang isi otaknya lebih penuh warna. 🤭 Kira-kira audionya seperti ini "ngapain, sih, dikit-dikit foto. dikit-dikit video. mungkin yang bilang gitu enggak sadar kalau hidup itu selalu berjalan cepat. dan kita enggak selalu punya memori buat mengingat. berakhir lupa karena banyak momen yang cuma lewat. foto dan video cuma segelintir syukur buat meromantisisasi apa yang sudah terjadi. biar suatu hari bisa dilihat lagi, dikenang kembali, dan bisa lebih menghargai hidup yang udah kita jalani."

Saya menonton video tersebut yang point of viewnya dari seorang Ibu muda yang sedang menemani anaknya jalan-jalan, main, beli jajan bareng, pokoknya tidak jauh dari aktivitas Ibu dan anak. Dan selesai menonton, ya memang sebagian besar orang tua yang merekam segala aktivitas anak mempunyai tujuan diantaranya sebagai kenangan biar suatu saat bisa dilihat lagi. Sama persis dengan audio di atas. Hanya saja ada orang tua yang memilih hasil dokumentasinya hanya untuk kalangan sendiri atau dinikmati sendiri. Ada juga yang memilih mempublikasikan untuk umum melalui media online.

Menjadi Penikmat Konten Atau Turut Memublikasikan Konten?

Saat mengikuti webinar tentang momen bonding bermakna, new parents Nikita Willy bersama suami berbagi tentang pola pengasuhan anak pertamanya. Mereka juga mengakui jika peran media sosial dapat mempengaruhi orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang si kecil. Makanya, mereka jarang membagikan momen bersama anak di media sosial sekalipun mereka sudah punya parenting style tersendiri dalam mengasuh anaknya.

Mereka bukan takut dengan komentar-komentar netizen yang maha benar itu, sih, tapi merasa tidak ada kewajiban membagikan ativitas bersama anak ke media online. Sesekali mengunggah aktivitasnya, lalu ada komentar dari netizen, mereka sudah bisa mengendalikan diri, dong. Yups, komentar yang sekiranya bermanfaat dapat mereka ambil hikmahnya. Pun sebaliknya, komentar yang dinilai negatif karena mungkin tidak sependapat dengan apa yang telah mereka share, kadang diskip demi menjaga kesehatan mental. Mereka lebih sering tutup mata, tutup telinga.

Menjadi Penikmat Konten Atau Turut Memublikasi Konten


Orang tua zaman now, kita dihadapkan dengan dua pilihan perihal konten yang sudah dibuat. Yaitu tetap bertahan hanya dengan menjadi penikmat konten atau turut mempublikasikan konten.

Sebagai penikmat konten, orang tua dapat menikmati konten-konten yang sudah dibuatnya, hanya dinikmati sendiri sebagai kenangan. Lebih dari itu, mereka juga dapat melihat konten-konten milik publik figur, teman, keluarga, atau selebriti favorit, yang dibagikan melalui media online. Namanya penikmat, ya mustinya menikmati dong, ya. Menikmati tanpa nyinyir atau menghakimi. 🙈

Berbeda dengan para orang tua yang memilih untuk turut mempublikasikan kontennya. Ada baiknya cari tahu batasan-batasan apa saja foto atau video yang boleh dipublikasikan ke media online. Sekalipun konten tersebut milik pribadi, tapi sebelum mengunggahnya harus dilihat, ditonton, berkali-kali supaya tidak menjadi bahan obrolan followers, fans, atau haters. 😂 Yups, konten yang sekiranya dapat "melahirkan" risiko sebaiknya dihold untuk konsumsi pribadi. 

Kadang ada aktivitas bersama anak yang dibagikan di media sosial menurut orang tuanya masih dalam batas wajar. Namun bisa jadi menurut orang tua lain sudah diluar batas wajar. Lalu bagaimana baiknya?

Mungkin banyak orang tua yang berkomentar, "anak-anak gue, terserah gue. repot aman. lagi pula elu kan enggak ikut kasih makan. pikirin amat." 😂

Mari kita berpegangan, Bun. Kita hidup sebagai makhluk sosial. Mau hidup di desa maupun di kota. Dokumentasi mau dinikmati sendiri maupun dibagikan kepada khalayak. Kita tetap harus perbanyak bacaan. Rajin-rajin membaca buku atau artikel tema parenting. Ini sangat membantu untuk menyadarkan atau memfilter konten mana yang layak atau tidak layak diunggah di dunia maya. Iya, kadang perihal publikasi konten di media online juga menjadi PR buat para orang tua. Harus paham konten seperti apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan di media sosial.

Anak Dijadikan Konten, Setuju?

Sebagai seorang Blogger, saya kadang masih susah percaya ketika dihubungi brand-brand ternama di Indonesia dan mengajak kerjasama. Sejauh ini, saya tidak pernah mempermasalahkan kerjasama dengan mereka selagi ketentuannya jelas di awal dan saling menguntungkan. Yaiya, masa mau kerjasama tapi merugikan. 🤭 

Beberapa kerjasama yang ditawarkan kadang ada yang harus melibatkan anak, menyertakan anak ke dalam konten karena produk mereka memang direkomendasikan untuk anak-anak. Kalau sudah seperti ini, saya cukup selektif dalam menerima tawaran dan harus komunikasikan terlebih dahulu dengan anak. Jika anak mau, berarti bisa dilanjutkan kerjasamanya. Dan sebaliknya, jika anak menolak, saya juga tidak bisa melanjutkan kerjasamanya meskipun sudah tahu nilai materinya lumayan.

anak dijadikan konten boleh atau tidak


Lalu, bagaimana dengan konten-konten yang murni tanpa label advertorial?

Nah, kalau ini yang paham boleh atau tidak boleh dibagikan ke publik adalah orang tuanya. Mereka harus punya batasan-batasan tersendiri dan kontrolnya memang ada pada orang tua. Selain berbekal dari hasil membaca dan mengamati, tidak ada salahnya orang tua membuat batasan-batasan konten apa saja yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan di media digital. Selagi tidak merugikan, tidak mendatangkan risiko, tidak melanggar norma, saya rasa tidak masalah anak dijadikan konten.

Orang tua paling tahu apa-apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Orang tua juga paling paham apa-apa yang tidak disukai anak-anaknya. Orang tua paling tahu apa-apa yang sekiranya dapat membahayakan anak-anaknya. 

Dear anak-anak Ibuk yang kerap masuk frame bareng Ibuk, percayalah kalau Ibuk tidak ada maksud jelek saat publikasikan foto atau video di media digital. Insya Allah masih dalam batas wajar dan tidak membuat malu kalian. 💓

Ibuk atau Ayah munkin punya pandangan lain tentang anak yang dijadikan konten oleh orang tuanya? Boleh sharing lewat kolom komentar, ya. 😘

You May Also Like

25 komentar

  1. Ada plus minus nya memang, kalo saya kontenin anak itu salah satu ajang merekam memori untuk suatu saat nanti kalo udah pada gede, biar ada kenangannya, tapi juga tidak semua kegiatannya di jadikan konten, tetap ada batas privasi antara dunia anak dan social media

    BalasHapus
  2. Kalau jadi new parent kayaknya aku bakalan sering foto upload kegiatan si kecil. Tapi balik lagi untuk selalu peduli sama keselamatan si kecil, anggota lain perlu negur sih, krn parent sering merasakan bahagia berlebihan *cmiiw

    BalasHapus
  3. Hihi... saya banget nih, anak pertama itu banyaaak banget foto dan videonya semasa dia bayi. Makin besar makin berkurang. Pas anak kedua, nggak sebanyak anak pertama. Memang selalu ada yang pertama dalam setiap hal ya mbak.

    Pilihan untuk mempublikasikan atau menyimpan untuk diri sendiri pun itu adalah hak pribadi, jadi nggak perlu lah saling menghakimi

    BalasHapus
  4. Anakku udah berada dalam umur yang ke mana-mana udah malu kalau sama ibuk, dan beberapa konten pun udah mulai berkurang frame dia. Kecualiiii pas dia butuh uang, dia bakal mau kerja bareng >.<

    BalasHapus
  5. Zaman saya belum kuat banget medsosnya, itu juga keinginan jepret jepret anak selalu kuat apalagi masih bayi, imut2 gak nahan. Apalagi makin ke sini kebutuhan konten seperti jadi kebutuhan primer aja, jadilah niat dokumentasi anak jadi lebih gak ngotak lagi caranya. Hihih, maapin Mba agak kasar saya, masih gemes kalo ingat si bayi itu dijadikan konten sama emak bapaknya. Miris

    BalasHapus
  6. Memang perdebatan yang kayak gini gak bakal ada habisnya sih, sebenarnya ada plus minusnya kok dan kalau kita tau cara mengambil angle yang tidak terlalu mengeksploitasi anak menurutku masih oke sih ya. Apalagi kalau sebenarnya itu untuk edukasi sih ya.

    BalasHapus
  7. Dari awal saya ngeblog pendapat ini juga sudah ada pro kontranya. Tapi, saya selalu balikin ke diri sendiri. Sering-sering introspeksi, 'postingan saya aman gak, ya?'

    Aman di sini gak hanya menyangkut hal-hal privasi. Tetapi, juga aman dalam menjaga perasaan anak. Setiap kali posting, saya selalu mikir seandainya suatu saat anak-anak saya baca, seperti apa perasaannya? Kalau udah agak gedean mulai ditanya pendapatnya.

    Alhamdulillah, sejauh ini mereka nyaman aja. Terkadang suka baca juga cerita-cerita tentang masa kecil mereka sendiri.

    BalasHapus
  8. Kalau aku biasanya minta pertimbangan ke anaknya dulu karena memang anak yang paling enak diajak kerjasama yah si bungsu yang sekarang sudah kelas 5 SD, biasanya anakku suka tanpa ini itu dan aku jelaskan tentang konten yang akan di buat, kalau setuju ya lanjut kalau keberatan, tetap aku hormati keinginannya. Bahkan untuk upload foto buat konten biasa pun aku selalu minta persetujuannya, yang terpenting sih orangtua dan anak merasa nyaman dan aman dengan konten yang dibagikan.

    BalasHapus
  9. Inilah pentingnya orang tua mendapat edukasi atau berusaha mengedukasi secara mandiri, "Bagaimana sebaiknya atau apa-apa saja sih yang harus diperhatikan saat anak dijadikan konten"

    Apalagi di zaman digital, semua informasi bisa diakses.
    Yang lebih penting lagi, akseslah informasi yang legal dan ofisial!

    BalasHapus
  10. Ada juga yang bilang kalau tanpa gadget (memfoto/memvideo) momen bersama anak akan terus melekat dalam ingatan anak sampai besar. Momen dimana kita fokus membersamai anak tanpa diatasi.

    Apapun mau itu untuk konten atau tidak, selama niatnya kebaikan.. semoga berpahala ya buk

    BalasHapus
  11. Sebenarnya ini menjadi pengingat buat kita semua ya..
    Karena konten yang relate dengan kehidupan kita pun bisa menjadi pelajaran bagi banyak pihak. Ada pengasuhan di sana, ada bonding, ada komunikasi, semoga apapun yang dikerjakan dan melibatkan anak-anak bisa diambil hikmahnya bagi penonton.

    Sejujurnya, aku penikmat konten bayi-bayi.
    Heheh.. seneng banget kalo kelewatan bayinya Atta, bayinya Nikwil, rasanya seneng kalau anak muda zaman sekarang bondingnya tetap bagus terhadap anak-anak. Semoga keluarga Indonesia tetap bisa melihat dari sisi positif setiap konten yang disajikan.

    BalasHapus
  12. ketika nanti rezeki memiliki anak, suamiku jg berpendapat ingin memberikan ruang private kepada anak. Tapi dari aku sendiri ingin terus memberikan dokumentasi dan itu bisa diranah pribadi aja. Keputusan yutuber itu, aku sangat-sangat ga setuju karena tampak bayi nya ketakutan

    BalasHapus
  13. Kalau menurutku sih, oke oke aja ya, anak ikut dalam frame untuk kita posting yg berbau iklan atau apalah.

    Yang penting tidak merugikan anak kayak bikin teauma, ketakutan, atau lainnya.

    BalasHapus
  14. Merekam, memfoto anak, memang bisa jadi obat kangen di masa depan. Tapi mempostingnya di dunia maya, menurutku kita harus memilah dan memilih juga. Kebetulan anakku sudah 11 tahun, sudah cukup besar dan sudah bisa berpendapat. Kadang malah dia yang jadi "rem" ketika aku mau nyetatus soal adiknya. Masya Allah.

    Lalu, untuk akun berfollower banyak, sebaiknya memang membuat konten yang bermanfaat, ya.. Memang kita manusia ini tidak sempurna, tapi ketika kita sudah memposting sesuatu di ranah publik, kita bertanggung jawab akan akibat yang bisa timbul setelah itu. Nah, semakin banyak pengikut, otomatis semakin besar pula tanggung jawabnya kan?

    BalasHapus
  15. Saya belum dikaruniai anak. Tapi saya akan memiliki banyak pertimbangan kalau akan menjadikan anak sebagai bahan konten. Tentu ini akan selalu menjadi prodan kontra, ya. Tapi lagi lagi kembali ke orang tuanya.

    BalasHapus
  16. Ga papa sih bikin konten bareng anak. Rata-rata sudah pada ngerti apa saja yang tidak harus dibagi melalui medsos. Tetap semangat ya ibuk Idah bikin kontennya.

    BalasHapus
  17. Akuu sukaak sekali.produk switzal ketika anak2 masih pada bayi ajaa.
    Senoga switzal makin.maju dan berkembang.

    BalasHapus
  18. Aku suka nonton konten yang ngajakin baby mereka, lucu dan bikin gemes. Karena anakku udah besar semua saat konten digital hadir, ya aku nggak punya jawaban jujur apakah setuju anak dijadikan konten. Menurutku kembali pada diri sendiri, apakah konten tersebut bakal bikin kita dan anak nyaman, atau justru mengganggu

    BalasHapus
  19. Aku pribadi tim emak yang suka upload aktivitas anak hehe. Cuma emang aku batasi supaya gak terlalu berlebihan kyk misal pas mereka nangis, marah, gak pakai baju, big no buat diposting. Paling ya cuma urusan kerjaan atau dokumentasi pas bepergian. Trus skrng dah mulai pada nolak2 donk dipoto, jd wajib izin dulu ma anaknya hehe. Kalau gak mau yawda poto sendiri deh emaknya :D

    BalasHapus
  20. Memang merekam aktivitas anak bisa jadi hal yang membahagiakan bagi orang tua. Disimpan boleh, kalau dipublikasin sesekali nggak apa-apa asal masih Dalam Batas wajar. Untuk kepentingan kerja sama dengan Brand, biasanya saya ngajak ngobrol anal dulu sih m, minta persetujuan dia.

    BalasHapus
  21. Kalau aku sah sah aja sih bunn...asal anaknya juga mau dan happy menjalaninya itung2 pengalaman tampil

    BalasHapus
  22. saya kalau merekam kegiatan anak dan memoto mereka pastilah ada ya biar jadi pengingat. tapi kalau buat dipublikasikan saya masih milih-milih sih mau publikasikan yang mana. paling kalau mau posting juga yang bentuknya story jadi cepat hilang dan tentunya dengan persetujuan anaknya

    BalasHapus
  23. Kalau menurut sy tergantung kontennya, kalau positif, positif juga buat si anak, ga ada pemaksaan ke anak atau si anak bersedia, ga apa2. Tapi kalau ngorbanin anak demi konten spt mba seleb youtube itu, tidak.

    BalasHapus
  24. Makin ke sini saya juga makin jarang update konten ttg anak-anak. Bahkan untuk blog pun sangat jarang update tulisan parenting karena anak-anak sedang tidak ingin diceritakan. Untuk pekerjaan biasanya saya tanya dulu mereka mau atau enggak diajak kerja sama. Begitu pun untuk konten pribadi. Anak sekarang senang diajak diskusi, jadi lebih enak menentukan iya atau tidaknya.

    BalasHapus
  25. hmm.. anakku diajak foto untuk produk tertentu nunggu moodnya juga sih. Gak murni dijadikan konten banget. wehehe.. tergantung value keluarga juga ya bun, cuma kalau sudah dieksploitasi ya jangan sampai

    BalasHapus

Haai...mohon dimaafkan kalau aku terlambat atau malah ngga balas komentar kalian, ya.