Memberi Hukuman Kepada Anak

by - Oktober 29, 2020

Bukan tanpa sebab ketika orang tua memberikan hukuman kepada anak. Artinya, tidak ada orang tua yang dengan sengaja memberikan sanksi atau hukuman kepada anak. Ya...kebayang, dong, bagaimana orang tua mendampingi anak-anak, menjadi teman main, hingga menjadi teman ngobrol. 

memberikan hukuman kepada anak


Tidak sedikit orang tua yang berpendapat bahwa apapun alasannya, pemberian hukuman pada anak merupakan salah satu hal yang tidak benar. Yaa...meski hanya pura-pura atau sekadar ingin memberikan efek jera kepada anak, memberi hukuman kepada anak tetap tidak dibolehkan, tidak dibenarkan. Maksud memberikan efek jera atau sebagai salah satu cara shock therapy tidak didapatkan, malah justru yang sampai kepada anak adalah tekanan atau guncangan batin sampai membuatnya trauma berkepanjangan.

Lalu, jika anak-anak telah membuat kesalahan dan bukan untuk sekali, dua kali, tiga kali, bagaimana caranya supaya mereka tahu akan kesalahannya?

Segera beri mereka pengertian, ya.

Memberi pengertian kepada anak-anak bukanlah hal mudah. Malah kadang hal tersebut menjadi cara yang kurang tepat ketika anak masih membuat kesalahan, bahkan untuk kedua kalinya melakukan kesalahan yang sama. 

Jadi, bagaimana baiknya dalam memberikan hukuman yang mendidik untuk anak supaya tidak menyisakan trauma?

Memilih untuk memberikan hukuman terhadap anak bukanlah keputusan yang mudah. Orang tua harus mempertahankan ekspresi wajah kesal di depan anak. Ada air mata yang kadang harus jatuh di depan anak. Ada juga yang tidak boleh jatuh sama sekali. Ada nada yang harus ditinggikan. Ada mulut yang terpaksa bungkam. Ada tangan yang tidak boleh menyentuhnya, apalagi menggandengnya. Sebagai orang tua, pasti tidak mudah melakukan hal ini kepada anak, bukan?

Mendidik Anak Menurut Ali Bin Abi Thalib.

Membaca artikel dari situs Dakwatuna.com, bahwa ajaran Islam mempunyai konsep yang khas dalam mendidik anak sejak usia 1 tahun sampai 21 tahun. Adalah Ali Bin Abi Thalib Ra yang menuliskan konsep pengasuhan anak. Ada 3 pengelompokan dalam cara memperlakukan anak.
  • Pertama yaitu usia 0-7 tahun, orang tua memperlakukan anak sebagai raja.
  • Kedua, usia 8-14 tahun, orang tua memperlakukan anak sebagai tawanan.
  • Ketiga, usia 15-21 tahun, orang tua memperlakukan anak sebagai sahabat.
Dalam hal ini, kami "membawa" Kecemut, anak pertama kami yang usianya saat ini masuk 5 tahun dan belum lama ini mendapatkan hukuman karena suatu hal. Ehhh...ngomongin hukuman, kok, rasanya seram sekali, ya. Saya sebagai Ibuk yang menuliskannya pun sebenarnya tidak sanggup. Apalagi rasanya masih lekat dalam ingatan melihat anak menangis ketakutan karena suatu hukuman. 😢

Yuk, baca tentang konsep pengasuhan anak.

Tentang konsep pengasuhan di atasan, anak kami masuk dalam pengelompokan pertama. Bahwa melayani anak di bawah usia 7 tahun, perlakukan mereka sebagai raja. Memperlakukan dengan sepenuh hati adalah hal yang terbaik. Yups...suatu hal kecil yang dilakukan setiap hari ternyata dapat memberikan dampak yang sangat baik bagi perkembangan perilaku anak. Misalnya, ketika anak memanggil orang tua dan orang tua langsung menghampirinya, maka anak pun akan melakukan hal yang sama. Anak akan dengan mudah meniru apa yang dicontohkan oleh orang tuanya atau orang-orang yang sering di sekelilingnya.

Namun, memperlakukan anak di bawah 7 tahun sebagai raja ternyata tidak mudah. Banyak pengalaman pribadi yang kadang suka lepas kontrol. Yups, ada saatnya emosional orang tua muncul ketika anak menangis. Itu wajar dan hal itu tidak bisa disalahkan karena keterbatasan kesabaran tiap orang berbeda. 

Baca tentang waktu utuh untuk anak.

Saat anak menangis atau mulai ngeyel, orang tua kadang lupa untuk menambah stok kesabaran. Hasilnya? Orang tua pun marah-marah sampai lupa tidak memperlakukan anaknya sebagai raja. Dalam kondisi batin orang tua yang sedang tidak stabil, mungkin dikarenakan lelah atas pekerjaan rumah atau kantor, memarahi anak pun menjadi pilihan karena tidak bisa mengontrol emosi. Ini salah satu contoh pengalaman pribadi. 😆

Pada Suatu Hari...

ART (Asiten Rumah Tangga) kami saat itu izin tidak masuk kerja. Di rumah hanya ada saya dan anak-anak. Suami pas banget shift pagi. Pekerjaan rumah alhamdulillah sudah saya selesaikan sebelum suami berangkat kerja. Artinya, saya bisa leyeh-leyeh bareng anak-anak. Pokoknya asyik betul, deh. 😎

Hari menjelang siang, Kecemut mulai bosan di rumah karena saya terlalu sibuk dengan Wildan. Akhirnya, dia izin keluar rumah untuk main. Saya kira dia bakal lama mainnya, sampai jam 12.00 mungkin. Tapi teryata dugaan saya salah. Tidak lama kemudian, dia pulang bersama teman-temannya. Yups, main di rumah! Alhamdulillaah...

Lega rasanya ketika anak memilih untuk bermain di rumah. Rasanya lebih tenang. Karena dia main dengan teman-teman yang usianya di atasnya, saya makin tenang sampai tidak melakukan kontrol sama sekali. Menikmati hari bersama Wildan di kamar. Jadi, saya tidak tahu mereka ngapain saja di rumah dan mainan apa saja. Sampai pada akhirnya teman-temannya pamit pulang, kemudian terjadilah drama!

Yups! Drama!

Kecemut menangis melengking karena teman-temannya pulang. Hahaha. Risiko banget ketika ada teman yang main ke rumah, pasti tidak dibolehin pulang oleh Kecemut. Yaaa...mungkin dia masih ingin main bareng kalik, ya. Saya yang sedang bobo nyenyak, akhirnya keluar kamar, dong.


Daaan...

Ada pemandangan bagus banget di lantai. Cat air yang harusnya digunakan untuk mewarnai di kertas, ini digunakan untuk mewarnai di lantai. Ada yang karena tumpah, ada juga yang dengan sengaja membuat pola di lantai. Ruang tengah, ruang tamu, lantainya menjadi warna-warni. Baru bangun tidur melihat pemandangan semacam itu, kok, BAHAGIA, ya! Apalagi setelah saya keliling, ternyata pemandangan nan elok tidak hanya di lantai, tapi juga ada di wastafel dan juga kamar Kecemut. Gelas, piring, sendok, garpu, menumpuk. Ada yang digunakan untuk makan, ada juga yang digunakan untuk mainan. Sungguh nana nano hati ini. 😉

Mungkin bagi sebagian orang tua, hal demikian adalah biasa. Apalagi ada orang tuanya, masih bisa dibersihkan oleh orang tua. Tapi bagi kami adalah luar biasa karena sejauh ini Kecemut sudah cukup terbiasa tertib dalam hal bermain. 

Duuh...namanya juga anak-anak!

Oh...tidak bisa. Kami, khususnya saya sebagai Ibuk, berusaha untuk melibatkan Kecemut dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, tidak semua pekerjaan rumah, kok. Hanya pekerjaan tertentu yang sekiranya dapat dikerjakan olehnya. Mencuci piring setelah makan, misalnya. Ini sudah menjadi kebiasaan. Merapihkan mainan yang baru saja digunakan menjadi tugasnya dan dia sudah paham bahwa itu adalah sebuah tanggung jawab. Maka, ketika melihat pemandangan yang tidak menyenangkan itu, saya menjadi oleng karena mungkin tekanan darah naik. 😥

Ada Hal yang Harus Dimengerti.

Kami senang di usianya hampir 5 tahun, Kecemut sudah mulai paham arti mandiri dan bertanggung jawab. Dalam penerapan kehidupan sehari-hari, menurut kami sudah sangat baik. Kami merasa dia sudah dewasa, sudah mulai bisa kontrol emosi. Kami pun menjadi sangat terbantu.


Melibatkan anak untuk mengerjakan pekerjaan rumah bukan berarti kami mengajaknya untuk bersusah-susah. Kami harus bisa melihat situasi dan kondisi anak ketika mengajaknya untuk menjadi partner. Bagi kami, tidak ada orang tua jahat, yang ada yaitu orang tua yang ingin anaknya menjadi pribadi yang mandiri. Begitu juga dengan hukuman. Tidak ada orang tua dengan sengaja memberikan sanksi kepada anak, yang ada yaitu orang tua ingin anaknya paham bahwa yang mereka lakukan itu kurang baik atau tidak benar. 

Lalu, apakah harus dengan cara memberikan hukuman?

Pemberian hukuman kepada anak bukanlah pelampiasan atas kemarahan orang tua. Yups...jangan jadikan hukuman sebagai pelampiasan belaka. Memberikan hukuman pun menjadi jalan akhir ketika orang tua sudah merasa maksimal memberikan kesabaran, pengertian, tapi anak belum juga paham bahwa yang telah dilakukannya adalah salah. Namun demikian, sanksi yang diberikan kepada anak pun masih dalam batas wajar dengan melihat kondisi dan usia anak. Sebagai seorang muslim, orang tua bisa membaca artikel tentang cara menghukum anak dalam Islam.


Atas kejadian yang membuat saya syok, saya meminta kepada Kecemut untuk mencuci piring dan membersihkan lantai menggunakan tisue basah. Ini adegannya udah kayak majikan yang keras, sangat keras. Masih dalam keadaan menangis, bukannya saya mendekapnya, tapi saya meminta kepada Kecemut untuk membersihkan lantai yang penuh dengan cat air dan mencuci piring. Dia menangis sambil memanggil Mbah Uti, maklum cucu kesayangan. Pokoknya tragis sekali tapi wajah saya masih kekeh dengan ekspresi marah.

Dekap dan Komunikasikan. 

Tidak ada kata terlambat dalam menolong orang lain. Begitu juga dalam memberikan dekapan untuk anak sekalipun orang tua telah memberikan hukuman.

Cuci piring telah selsai dilakukan Kecemut, saya dampingi saat itu. Dia masih membersihkan lantai, baru dapat berapa kotak tapi sudah tidak ada tangisan. Yups, dia sudah tidak menangis, sudah terlihat lebih tenang. Saat dia mengerjakan semua itu, saya tidak berkata apapun kecuali menunjukan bagian-bagian yang perlu dibersihkan. Saat dia hendak mengambil tisue basah lagi, saya menggendongnya ke kamar.

I love you, sayaang!

Saya menciumnya berkali-kali dan dia memeluk saya erat, erat sekali. Saya merasakan tangan mungilnya memeluk saya penuh dengan permintaan maaf. Yups, dia belum ngomong apapun, tapi saya dapat merasakan kalau yang telah ia lakukan memang salah.

Saya memulai percakapan dengan santai. Saya memberi pengertian, menyampaikan bahwa yang saya lakukan tadi adalah bentuk hukuman supaya tidak terjadi lagi hal serupa. Memberi pengertian jika dia bisa mengajak teman-temannya untuk turut membersihkan atau membereskan permainan yang telah digunakan. Tak lama kemudian, setelah kami saling menatap, dia minta maaf. Minta maaf dan kembali memeluk saya erat, erat sekali.

Pada akhirnya...

Tidak semua hal yang anak inginkan harus dituruti. Tidak semua hal yang mereka lakukan dapat dibiarkan begitu saja dengan dalih berkreasi. Tidak setiap saat memberlakukan anak usia di bawah 7 tahun sebagai raja. Ada hal yang harus dimengerti oleh anak dan banyak hal yang musti dipahami supaya mereka bisa menjadi anak yang tangguh dan tanggap. Kami selalu sounding kepada anak, bahwa membantu orang tua adalah tugas mulia dan kami bahagia jika dibantu.


Butuh tekad yang kuat untuk memberi pengertian kepada anak sampai mereka betul-betul paham dan merasa bahwa yang telah dilakukan itu salah atau benar. Sebagai orang tua, kami juga berusaha melakukan pendekatan, memberikan pengertian ketika anak melakukan kesalahan.

Memberi hukuman kepada anak menjadi jalan akhir dengan tujuan supaya mereka paham dengan apa yang telah dilakukannya. Dan yang perlu dipahami oleh orang tua, boleh memberikan hukuman kepada anak, tapi jangan sampai hukuman tersebut menjadikan trauma pada anak. 


You May Also Like

0 komentar

Haai...mohon dimaafkan kalau aku terlambat atau malah ngga balas komentar kalian, ya.