• Home
  • About
  • Jasmine
  • Wildan
  • Hiroku
  • Kesehatan
  • Tumbuh Kembang
  • Parenting
  • Jalan Jajan
Hai, Bun! Apa kabar hari ini? Semoga dalam keadaan sehat wal afiat, ya. Sudah masuk musim hujan, nih. Nyaris setiap hari di Banjarnegara hujan, nih. Setiap hendak pulang kerja pun, saya pasti kehujanan. Betul-betul harus menjaga stamina agar tetap strong! ❤️

Akhir-akhir ini, entah sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri atas pencapaian-pencapaian yang sungguh di luar dugaan. Banyak pekerjaan di bulan ini yang alhamdulillah bisa saya selesaikan tepat waktu. Pekerjaan kantor, pekerjaan sebagai Bloger, alhamdulillah dapat berjalan berdampingan. Sungguh nikmat luar biasa dapat menjalankan dua passion dengan aman meskipun masih menjadi pejuang deadline. Ah...enggak masalah, ya. Terpenting ada niat baik untuk menyelesakannya. ðŸ¤£

Lalu, di sela-sela rutinitas sebagai Ibu Bekerja, alhamdulillah saya masih bisa hadir untuk keluarga khususnya anak-anak yang selalu setia menunggu Ibun pulang.

Pengalaman Menyapih Anak Kedua

Memandikan anak, menyiapkan bekal sekolah untuk Kecemut, bercerita tentang aktivitas harian, main mobil-mobilan bersama Wildan, ngobrol-ngobrol cantik bareng suami. Meskipun sesederhana itu, ini nikmat luar biasa bagi saya seorang Ibu Bekerja yang berangkat pagi pulang sore. 🤗 Sesederhana apa pun itu, bisa hadir di tengah-tengah mereka dalam keadaan sehat, tuh, rasanya bahagia tak terkira.

Alhamdulillah...Bisa Kembali Merasakan Nikmatnya Menyapih.

Lebih dari itu, alhamdulillah tahun ini, saya dapat merampungkan salah satu kewajiban saya sebagai Ibu Menyusui yang tak lain adalah memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada anak kedua saya selama 2 tahun penuh. Tepatnya bulan Mei lalu saya bisa kembali merasakan nikmatnya menyapih. Ini juga termasuk pencapaian luar biasa. Apalagi jika ingat perjuangan memberikan ASI Perah (ASIP) kepada anak-anak, banyak godaan yang jika tidak segera saya patahkan mungkin saya tidak bisa memberikan ASI ekslusif sampai anak usia 6 bulan. Dan mungkin, saya juga tidak akan meneruskan aktivitas memerah ASI di tempat kerja untuk memenuhi kebutuhan nutrisi Wildan. Sangat menyedihkan kalau pemberian ASI sampai berhenti sebelum saatnya. 😩

Kini anak kedua saya, Wildan sudah tidak menyusu. Usianya saat ini 2 tahun 5 bulan per Oktober. Saya tidak pernah menyangka akan mendapatkan dua pengalaman berbeda untuk momen menyapih anak-anak. Saya kira pengalaman menyapih anak kedua bakal sama dengan pengalaman menyapih anak pertama. Ternyata tidak. 

Memang, sih, tiap anak itu punya keunikan masing-masing. Selalu ada cerita tersendiri dalam tumbuh kembangnya. Ketika punya lima anak mungkin juga akan mendapatkan lima pengalaman menyapih. Begitu, Bun? 🤭

Belajar Dari Pengalaman Menyapih Anak Pertama.

Punya anak untuk pertama kalinya, tuh, jujur banyak bingungnya. Pada awal-awal anak lahir, saya kerap merasa tidak tega membangunkan dari tidur lelapnya. Kadang sampai tanya kepada diri sendiri, ini anak tidurnya nyenyak banget, kalau dibangunin marah enggak, ya? Terus, saat anak menangis yang tanpa jeda, merintih setelah imunisasi. Kalau sudah lelah, kadang juga sampai menangis dan sempat berucap "apa yang harus saya lakukan?" 

Lalu, sudah saatnya diberikan makanan pendamping ASI, apa saja yang boleh diberikan sebagai pengenalan MPASI. Memilih buah yang paling bagus, eh ternyata anak belum berminat buat mencobanya. Sayur apa saja yang bisa diberikan ke anak untuk tahap pengenalan, browsing-browsing sampai mumet sendiri. Hahaha. 

Lanjut, sudah dua tahun, seharusnya saya setop pemberian ASI tapi saya belum tega, apa yang harus saya lakukan? Bingung lagi, kan. ðŸ¤£ Berbagi pengalaman dengan teman menjadi alternatif sebelum otak penuh dengan tanda tanya. Termasuk sharing tentang menyapih anak pertama yang banyak dramanya. ðŸ¤­

Saya pernah hendak menyapih anak pertama tapi gagal terus. Ini terjadi karena saya belum siap menyapih anak. Dalam hati dan pikiran saya, kadang bermunculan prasangka-prasangka buruk yang pada akhirnya membuat saya tidak yakin untuk menyapih anak. Pesan saya dari hati yang paling dalam 🤭, meskipun ada rasa khawatir atau bahkan rasa kangen memberikan ASI kepada anak, Ibun harus ikhlas dan yakin bahwa anak sudah siap untuk tidak menyusu Ibunya ketika sudah usia 2 tahun. 

Ibun juga harus lebih realistis tapi tetap melibatkan hati, sih. Karena jika terus mengulur waktu menyapih, ini tidak akan membuat anak dan Ibun lebih baik. Karena pada usia dua tahun, anak akan mulai belajar mandiri. Banyak aktivitas seru yang akan dikenalkan kepada anak. Terbayang saat Ibun masih mempertahankan untuk memberikan ASI dengan usia 2 tahun atau bahkan lebih. Bisa jadi maunya nempel terus sama Ibunnya, nempel karena pingin ngempeng. 🤣

cara menyapih anak dengan benar

Memberikan Pengertian Sejak Dini.

Saya masih punya simpanan artikel yang berjudul 2 Tahun Wildan. Pada artikel tersebut, saya menceritakan tentang momen ulang tahun kedua anak laki-laki saya. Momen ulang tahun kedua saya jadikan patokan untuk dia tidak menyusu Ibun.

"Mamas, nanti kalau udah ulang tahun, berarti Mamas sudah tidak nenen Ibun." Pengertian ini terus menerus saya sampaikan kepada Wildan.

Saya tidak pernah bosan untuk memberikan pengertian dan pemahaman tentang setop menyusu kepada Wildan. Saat menyampaikan hal itu, hati ini ada nyeri-nyeri, sih. Tapi memang harus disampaikan supaya anak semakin paham dan tidak kaget ketika Ibun tidak membuka akses enen. 😆

Manfaatkan Momen Ulang Tahun.

Saya mencoba menerjemahkan raut wajah Wildan ketika saya menyampaikan perihal menyapih, mungkin momen ulang tahun menjaadi momen yang sangat tidak ditunggu-tunggu atau sangat tidak diinginkan oleh Wildan. Saya pun merasa kalau dia tidak begitu antusias ketika saya membelikan kue ulang tahun untuknya. Kejadian ini sangat berbeda dengan Mbaknya yang mana dia selalu menunggu momen ulang tahunnya padahal sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa setelah ulang tahun kedua, Mbak sudah tidak boleh menyusu Ibun lagi. Tapi memang beda.🤭

Namun saya tidak patah semangat. Saya merasa jika momen ulang tahun kedua dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk sounding kepada anak ketika akam disapih. Ini baru saya coba sekali, sih. Jadi meskipun belum yakin 100%, paling tidak ada komunikasi yang pasti dan tidak setengah-setengah. Besok saya coba lagi untuk anak ketiga, ya. Siapa tahu tips yang satu ini tingkat keberhasilannya 80%. Eh...Insya Alloh otw anak ketiga. ðŸ˜†

Lebih "Seru" Menyapih Anak Pertama atau Kedua?

Pengalaman saya, lebih sabar menyapih anak pertama. Ibun lebih baper dan kesiapan menyapih belum maksimal. Sekalipun suami dan orang terdekat sudah mendukung, tapi jika Ibun memang betul-betul belum siap, yang terjadi adalah "anda belum beruntung atau anda belum berhasil, silakan coba lagi." ðŸ¤­

Menyapih anak pertama memang harus kuat mental. Berbeda dengan anak kedua. Tetap harus menyiapkan mental yang tangguh, tapi kali kedua ini berbeda. Sudah lebih siap dan sudah paham bagaimana mengatasi emosional pada diri sendiri dan juga anak. Saya merasa sudah lebih siap menyapih untuk anak kedua.

Bagaimana dengan pengalaman Bunda saat menyapih anak? Boleh lah sharing penglaman seru menyapih anak-anak. ðŸ˜‰
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Hello, Parents! Orang tua mana yang tega melepaskan anak usia 6 tahun pergi renang sendirian? Sepertinya jarang, ya. Sekalipun ada orang dewasa yang membersamainya, tapi banyak orang tua yang merasa belum tega dan pastinya banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan. Keselamatan anak, misalnya. Atau, ada juga orang tua yang merasa buah hatinya belum sepenuhnya bisa mandiri di usia tersebut.
 
Anak Usia 6 Tahun Pergi Renang Tanpa Orang Tua

Tolak ukur sikap mandiri anak memang tidak tergantung pada usia. Orang tua dapat melihat kemandiriannya pada kesiapan anak ketika akan bepergian. Bagaimana anak sudah dapat memahami arah, sudah mampu berkomunikasi dengan orang lain, memahami rambu-rambu lalu lintas, dan teliti terhadap barang bawaannya. Paling tidak dengan identifikasi tersebut, orang tua sudah punya sedikit keyanikan untuk mengizinkan anak bepergian sendiri.
 

Kronologi Anak Usia 6 Tahun Pergi Renang Tanpa Orang Tua. 

Jum'at, 19/6/2022 pukul 13.30. Siang itu saya baru saja pulang dari dinas dalam kota. Baru saja duduk dan merasakan kenyamanan, saya menerima telepon dari Bapak. Beliau mengabarkan bahwa cucu kesayangannya sudah lama tidak terlihat di sekitar rumah. Dari penyampaiannya, Bapak khawatir sekali. Sampai saya yang biasanya selalu berusaha menyikapi telepon dengan tenang, kali ini ikut khawatir.

Jujur, tubuh ini masih membutuhkan istirahat mengingat baru melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan medan yang tidak biasa. Namun tentu saja saya tidak bisa kembali merasakan kenyamanan duduk di kursi. Terlebih saat saya kembali menerima telepon dari Bapak dan menerima update informasi kalau Kecemut pergi bersama teman baiknya dengan mengendarai angkutan umum menuju arah Cangking, sebuah obyek wisata wahana air yang jaraknya kurang lebih 15 km dari rumah dan harus naik angkutan umum 2 kali untuk sampai lokasi.

Suami yang saat itu masih kerja, langsung saya kabari dan shock banget, sama seperti saya ketika mendengar kabar yang membuat lutut lemas seketika. Saking was wasnya, saya langsung ambil kontak sepeda motor untuk bergegas menyusul ke Cangkring. Baru keluar dari ruangan, hujan turun dan langsung deras. Terbayang hati ini seperti apa, Bun?

Mengulang Kesalahan yang Sama. Namun, Kali Ini Lebih Astgahfirullahal'adzim. 


Kejadian ini tidak hanya sekali. Setelah Jum'at Kecemut renang bersama seorang teman baiknya, Minggunya dia kembali melakukan hal yang sama. Kali ini dia ke Cangkring tidak hanya bersama satu teman, namun bersama lima temannya dan yang paling besar adalah usia 9 tahun. FYI, ini bukan kali pertama Kecemut pergi ke Cangkring. Kami sekeluarga sering renang di sana. Bisa dibilang, tempat renang ini menjadi kolam renang favorit karena airnya jernih alama dan aroma kaporitnya tidak begitu terasa.

Terlalu khawatir amarah saya akan meledak saat bertemu dengan Kecemut di Jum'at sore, saya dan suami memilih untuk sama-sama menenangkan hati. Kami tanya jawab dengan santai meskipun sebenarnya ingin sekali meninggikan volume suara. Kami memberikan pengertian dan meminta tolong kepada Kecemut untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan lagi. 

Hati ini rasanya tidak rela atas pengambilan keputusan Kecemut untuk pergi bersama temannya. Tapi saya merasa harus punya waktu khusus untuk menumpahkan semuanya sampai tuntas dengan harapan Kecemut lebih paham lagi. Belum sampai tumpah, kejadian yang sama kembali terulang pada hari Minggu. Artinya, masih dalam minggu yang sama, Kecemut melakukan kesalahan yang sama.

Sampai di sini, mungkin ada yang bertanya-tanya, "Bagaimana anak-anak yang masih di bawah umur bisa sampai Cangkring? Berapa uang yang mereka bawa untuk dapat menikmati wahana air? Apakah mereka bisa menyeberang jalan? Apakah di angkutan umum mereka baik-baik saja?"

Saya speechless! Apalagi ketika tahu mereka ke Cangkring membawa uang saku 100 ribu yang mana uang tersebut didapat dari Kecemut. Hiks...Kecemut memberanikan diri mengambil uang lembaran berwarna merah yang saya simpan di lemari. Kebetulan tersisa satu lembar. Memang tidak terlihat, tapi mungkin dia tahu tempat saya menyimpan uang. Dan ini kali pertama dia mengambil uang orang tuanya tanpa izin.

Sebagai orang tua, shock banget rasanya. Hati ini patah rasanya, se patah-patahnya. Bukan hanya lutut saja yang lemas, tubuh ini serasa tak bertulang. 

Anak Memang Seorang Peniru Ulung.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pepatah yang sering kita baca dan dengar ini dipakai untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku, dan pola pikir antara orang tua dengan anak-anak. Pun dengan istilah anak adalah seorang peniru ulung. Peran Ayah Ibun atau orang di sektiar anak dalam memberikan stimulus sangatlah penting, karena sikap, perilaku dan kata-kata yang baik atau buruk yang keluar dari mulut akan sangat mudah di tiru oleh anak.

Terkadang ada orang tua yang lupa akan pribadinya yang sekarang atau saat sudah menjadi orang tua. Anak-anak setiap hari bersama kita, mulai dari bangun tidur, hingga kembali tidur pada malam hari. Mereka dapat melihat, mengamati, bahkan meniru apa saja yang kita lakukan. Dan sudah menjadi hal biasa ketika anak melakukan kesalahan kususnya dari sisi perilaku pasti akan dihubungkan dengan orang tuanya.

Dalam konteks kesalahan yang dilakukan Kecemut, tidak sedikit orang yang berkomentar kalau perilakunya sama persis dengan Ibunya saat masih kecil. Iya, kali ini obyeknya adalah Ibunya, bukan Ayahnya. Hahaha.

Anak Memang Seorang Peniru Ulung


Menurut mereka, dulu saat saya masih kecil suka bepergian sampai membuat orang tua bingung harus mencari ke mana. Komentar ini langsung saya patahkan, dong. Ibu saya pun tidak membenarkannya. Karena faktanya, saya mulai sering jarang pulang karena Traveling, tuh, sejak lulus kuliah dan menjadi seorang Ibu.

Kecemut menjadi lebih berani dibanding teman-teman lain yang seusianya karena mungkin sering melihat saya pergi bersama teman-teman meskipun hanya melihat dalam bentuk dokumentasi. Dia juga tahu kalau saya lebih memilih naik angkutan umum ketika bepergian. Dia paham betul karena sering saya ikutkan. 

Jadi, dia melihat seluruh aktivitas saya ketika sedang bepergian bersama teman-teman atau rekan kerja. Mungkin mulai dari sini, dia pelan-pelan belajar meniru untuk bepergian dengan transportasi umum. Yang membuat saya shock, kenapa ini terjadi disaat usianya masih sangat dini di mana tingkat keamanan transportasi umum, khususnya angkutan dalam kota di tempat saya tinggal belum semua aman, ramah dan nyaman untuk anak-anak.

Anak Adalah Tempat Belajar Bagi Para Orang Tua.

Satu yang menjadi catatan kami, khususnya saya yang lebih sering mengajak anak-anak bepergian kerap lupa menyampaikan informasi penting seperti kapan anak-anak boleh mulai naik transportasi umum. Saya seringnya hanya menyampaikan, "nanti kalau sudah besar, nanti kalau sudah berani, nanti kalau sudah punya uang, nanti nanti dan banyak nantinya", tanpa menyertakan detailnya. 

Kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Dan memang benar, orang tua bisa belajar banyak dari anak-anak. Ya...barangkali pesan yang disampaikan kurang tepat atau bahkan tidak tepat. Entah dari cara penyampaiannya, penggunaan bahasa, istilah, atau hal lainnya. 

Berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada anak-anak yang sekiranya memiliki risiko memang harus disampaikan secara penuh termasuk "do and don't", tidak boleh setengah-setengah.

"Nanti kalau sudah besar, yaa...kira-kira saat Mbak sudah SMP, baru bisa mulai naik angkutan umum. Itu pun kalau Mbak sudah merasa berani." Mungkin komunikasi tepatnya seperti ini. Ada kejelasan karena kadang anak-anak juga tidak bertanya balik.

Lebih lengkap lagi, sampaikan alasan kenapa baru bisa melakukannya saat sudah besar, saat sudah SMP. Termasuk risiko-risikonya tanpa ada maksud menakut-nakuti. Harus pandai-pandai dalam mengambil angle saat berkomunikasi dengan anak-anak. Pelan, fokus, jangan terburu-terburu ketika sedang mulai bercakap penting dengan anak-anak dan harus sampai tuntas tidak meninggalkan keraguan atau pertanyaan.

Malam itu, tepatnya setelah kejadian kedua Kecemut pergi ke Cangkring, saya dan suami ngbrol sampai dini hari karena kemi merasa keberanian Kecemut kali ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Obrolan kami mengalir begitu saja sampai tak terasa air mata ini sesekali menetes saking sedihnya. Apalagi hampir semua orang di desa kami tahu kejadian yang melibatkan lima anak.

kolam renang cangkring

Bisa dibilang, kejadian ini sempat viral di Desa tempat kami tinggal. Kira-kira selama sepekan. Hampir setiap berpapasan dengan orang, mereka menyapa Kecemut dengan bercandaan "Ayo ke Cangkring lagi". Mereka bercanda, sih, tapi melihat ekspresi Kecemut kasihan juga. Kami berharap semoga dia paham dengan kesalahannya dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tarik nafas, sekian curhatan Ibun kali ini, ya. xixixi
Share
Tweet
Pin
Share
7 komentar

Dulu, prasangka-prasangka buruk tentang tumbuh kembang anak kerap menghantui saya. Latar belakangnya sangat sederhana, karena tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa anak yang ditinggal kerja oleh orangtuanya kemungkinan mendapatkan perhatian dari orangtua sangat kecil. Orangtua lebih dominan mengurus pekerjaan kantor yang banyak target atau deadline, sementara tugas sebagai ibu rumah tangga kadang tidak dibuat timeline. Ini yang kadang menyebabkan kurang seimbang antara tugas sebagai Ibu Rumah Tangga dan Ibu  Bekerja.

perkembangan kosakata anak

"Duh, sudah usia 2 tahun, tapi anak saya belum banyak mengeluarkan kosakata. Bahkan yang simpel pun. Apa karena saya sebagai Ibu kurang perhatian dengan anak, ya?"

Mulai dari sini, sebagai Ibu Bekerja pasti akan mulai melakukan evaluasi. Bukan hanya Ibu Bekerja, semua Ibu pasti akan mulai berbenah diri. Jangankan usia 2 tahun, ketika usia anak masuk 12 bulan atau 1 tahun namun belum banyak kosakata yang terucap, orangtua pasti mencari tahu penyebabnya. Apakah anak tersebut memang belum bisa melafalkan kata, malas berbicara, atau speech delay (keterlambatan dalam berbicara).

Di tempat tinggal saya kadang masih ada orangtua yang menyuarakan bahwa tumbuh kembang anak, tuh, tidak bisa bersamaan antara berbicara dan berjalan. Ketika anak usia satu tahun belum bisa mengucapkan kata-kata pendek atau milestonenya sedikit, biasanya dia sudah mampu berjalan. Pun sebaliknya. Tapi sayangnya ini hanya mitos saja karena memang belum ada bukti atau penelitian yang menerangkan bahwa tahap perkembangan motoriknya lebih cepat, lantas perkembangan bahasanya jadi terlambat. 

Peran Ibu Dalam Perkembangan Kosakata Anak.

Sebenarnya untuk melatih anak berbicara bukan hanya "tugas" Ibu saja melainkan tugas kedua orangtuanya. Namun pada praktiknya memang nurani Ibu merasa lebih dekat dengan anak-anaknya. Apalagi perihal berbicara, membacakan dongeng, kehadiran atau peran Ibu paling mendominasi. Dan anak akan bertambah kosakatanya ketika diajak ngobrol atau dibacakan dongeng.

Ditambah lagi saat si Kecil minta diskusi dengan Ibu atau berbicara apa saja sekalipun menurut Ibu tidak penting, Ibu harus menjadi pendengar yang baik. Menyimak dengan seksama dan wajib memberikan respon positif. Iya, tanggapan baik sekecil apapun atau malah sebatas ekspresi, ini sangat berarti bagi anak. 

Melakukan Evaluasi Atau Bila Perlu Konsultasi Dengan Dokter.

Sudah pasti pikiran dan hati tidak tenang ketika melihat anak susah berbicara. Menyalahkan diri sendiri dan melabelkan sebagai Ibu yang tidak bisa merawat anak pun bisa jadi terucap. Melakukan koreksi diri itu penting. Karena terkadang ada faktor keturunan yang tidak disadari oleh orangtua. Mengingat-ingat ke masa lalu juga bisa kalau sekiranya perlu.

Evaluasi tidak hanya pada orangtua saja, pada anak pun. Siapa tahu memang ada faktor yang membuat anak susah berbicara atau susah menambah kosakata baru. Bila perlu konsultasikan dengan Dokter ya, Buk. Jangan lupa untuk cari tahu dan memahami panduan perkembangan bahasa si kecil. Pada usia berapa anak mulai mengenal kata sederhana seperti Ibu, Ayah, Kakak, Adik.

Memantau Perkembangan Kosakata Anak.

Anak kedua saya, Wildan kerap salah mengucap atau cara melafalkannya belum bisa utuh. Ketika dia melihat Kucing, dia akan menyapanya dengan Meong atau Empus. Kemudian, menyebut namanya sendiri bukan Wildan melainkan Indan. Lalu, sering juga salah pengucapan. Sebagai contoh adalah Susu, dia menyebutnya Tutu.

Ah...tidak masalah, karena masih pada umumnya. Pengucapannya pun masih wajar dan terdengar sama.

Oh tidak bisa, Bun. Prinsip saya, berbicaralah dengan pengucapan yang benar, agar anak belajar mengucapkan kata-kata secara benar pula. Dan iya, ketika Wildan memanggil Kucing "sini meong. Atau, pas dia bilang mau ngasih makan embek.", saya langsung membenarkannya bahwa itu adalah kucing. Bahwa itu adalah kambing.

Saya tetap kekeuh dalam pendirian, termasuk saat dia memanggil dirinya dengan nama Indan, saya langsung mengoreksinya. "Anak Ibuk namanya Wildan, bukan Indan." Dan dia pun bisa mengucapkan Wildan. Meskipun melafalkannya memang belum bisa sejelas orang dewasa, namun setidaknya dia tahu dan paham kata yang harusnya dikeluarkan.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Hai, Parents! Tidak terasa kegiatan belajar mengajar di Sekolah telah berjalan selama tiga bulan, ya. Rasa-rasanya belum lama Kecemut mengenakan segaram merah putih untuk pertama kalinya. Eh...awal September lalu, wali kelasnya mengirimkan jadwal Penilaian Tengah Semester (PTS) melalui WhatsApp Group wali murid. Betapa waktu berjalan terasa begitu cepat. ðŸ™ˆ

ketika anak penilaian tengah semester, apa yang harus orangtua lakukan

Penilaian belajar siswa selama setengah semester biasanya dilaksanakan pada pekan ke-8 atau ke-9 dalam satu semester. Dan untuk materi yang diujikan yaitu mengenai kompetensi dasar. Meskipun materi yang akan masuk penilaian belum banyak dan masih dasar, kami tidak boleh menyepelekan karena ini menjadi pengalaman pertama bagi kami mendampingi anak belajar untuk persiapan PTS. ðŸ˜Š

Betul, ini adalah pengalaman pertama kami sebagai orangtua mendampingi anak PTS. Pun menjadi pengalaman pertama bagi Kecemut mengikuti PTS. Pengalaman serba pertama biasanya akan menjadi pengalaman yang sangat berharga, dan akan menjadi momen yang tak terlupakan sepanjang masa. Kenapa? Karena akan banyak pelajaran yang didapatkan, mulai dari memberikan pemahaman, menyiapkan mental anak, sampai kami bersama-sama melihat hasil dari kerja keras atas usaha-usaha yang telah dilakukan.

Berikut 5 Hal yang Orangtua Lakukan Ketika Anak Akan Mengikuti PTS.

"Ah, baru PTS ini. Belum juga Ujian Tengah Semester (UTS). Terpenting, kan, nilai UTSnya." 

Mungkin ada orangtua yang berpendapat demikian. Apapun pendapat dari masing-masing orangtua, tuh, sah-sah saja. Tapi kami yakin setiap orangtua pasti akan berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan bagi anak-anaknya. Apalagi kita semua tahu, bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan PTS yaitu sebagai bentuk evaluasi untuk mengetahui capaian siswa selama tiga bulan pada tiap semester. Dan kita semua juga tahu bahwa PTS ini menjadi salah satu bekal untuk mengikuti Ujian Tengah Semester (UTS).

Ada banyak hal yang dilakukan orangtua ketika anak hendak PTS, berikut 5 hal hal yang kami lakukan ketika Kecemut akan mengikuti PTS untuk pertama kalinya.

5 Hal yang Orangtua Lakukan Ketika Anak Akan Mengikuti PTS.

1. Memberikan Pemahaman Kepada Anak Tentang PTS.

Karena untuk pertama kalinya, kadang anak belum paham betul apa itu PTS. Wali kelas biasanya sudah memberikan informasi perihal kegiatan rutin ini minimal seminggu sebelum pelaksanaan. Namun kadang ada saja anak yang belum bisa menerima informasi secara utuh. Setelah mendapatkan jadwal fix dari wali kelas, kami pun memberikan pemahaman kepada Kecemut bahwa tidak lama lagi akan dilaksanakan ujian di sekolahnya.

Saat saya menyampaikan perihal kegiatan ujian, dia langsung jawab "udah tauu, Ibu. Bu Guru sudah menyampaikan. Udah tauuu...udah tauuuu...." 

Yha...kadang begitu anak-anak ya, Bun. Tapi meskipun anak merasa sudah tau banget, tapi kami tetap memberikan tambahan informasi jika kegiatan ujian ini dilakukan secara serius, bukan belajar seperti hari biasa agar anak semakin paham. Kami juga menyampaikan, saat nanti Bu Guru memberikan soal-soal untuk dikerjakan. Sebagai gambaran, saya pun meminta tolong kepada suami untuk mengambil modul pendalaman materi yang dilengkapi soal-soal. FYI, modul atau buku tersebut adalah modul yang biasa digunakan untuk belajar disekolahnya. 

2. Membangun Mental Anak Sejak Dini.

Ketika anak sudah paham apa saja yang akan dia lakukan ketika PTS, maka berikutnya kami mulai memberikan gambaran-gambaran ketika PTS dimulai. Pada hari-hari biasa, ketika anak masuk kelas akan ada komunikasi secara aktif di ruang kelas, komunikasi antara guru dan anak atau antar anak. Ini sangat berbeda saat kegiatan PTS mulai berlangsung yang mana suasana kelas mungkin akan menjadi lebih tenang karena tidak banyak interaksi. Mulai dari sini, mungkin anak dalam hati akan bertanya-tanya, "kenapa teman-teman pada sibuk sendiri? kenapa Bu Guru tidak bersuara seperti biasanya?" dan mungkin masih banyak pertanyaan yang belum terjawab oleh dirinya sendiri.

Membangun Mental Anak Sejak Dini.

Sebelum memulai PTS, Wali Kelas biasanya akan menyampaikan "Do and Don't" selama PTS berlangsung. Namun karena untuk pertama kalinya mengikuti PTS, kami sudah menyampaikan terlebih dahulu kepada Kecemut dengan harapan mentalnya tetap terjaga saat PTS akan dimulai. Ada beberapa hal yang kami sampaikan seperti saat PTS berlangsung tidak ada tanya jawab sekalipun dengan teman sebangku kecuali ada yang penting. Pinjam penghapus, misalnya. ðŸ¤­

PTS adalah saatnya menjawab soal-soal secara mandiri, siapkan alat tulis, tidak boleh menyontek, dan tidak boleh bersuara di kelas kecuali ada yang akan disampaikan. Ini menjadi point juga sekaligus sebagai pondasi atau mindset. Karena ini merupakan PTS pertama bagi Kecemut, kami tidak ingin mentalnya menciut hanya karena diingatkan oleh teman-temannya untuk tidak bersuara atau ditegur karena melirik tajam pekerjaan teman lain. ðŸ˜†

3. Hadir Secara Langsung Ketika Anak Sedang Belajar.

Cara belajar anak saat ini sangat berbeda dengan saya saat masih SD. Dulu, saya sering belajar secara mandiri. Saat akan UTS pun saya merasa tidak masalah untuk belajar sendiri tanpa didampingi orangtua. Dan saya tetap merasa nyaman, aman, dan ya mungkin karena terbiasanya saja, ya. ðŸ¤­

Berbeda dengan anak zaman sekarang, khususnya anak SD. Rasa-rasanya tidak sampai hati membiarkan Kecemut belajar mandiri. Ini yang saya rasakan sebagai Ibu. Mungkin karena sering membaca artikel parenting yang mana hadirnya orangtua secara fisik sangat berpengaruh khususnya dalam tumbuh kembang anak. Dengan cara ini juga diyakini dapat menambah semangat anak untuk belajar karena anak merasa lebih diperhatikan. Apalagi ini pengalaman pertama buat Kecemut mengikuti PTS, kami merasa harus memastikan materi-materi mana saja yang sudah dia kuasai dan sebaliknya.

4. Melakukan Komunikasi Lebih Intens Dengan Anak.

Memberikan rasa nyaman dan aman kepada Kecemut sudah menjadi kewajiban kami sebagai orangtua. Setiap orang tua sudah pasti ingin menjadi "pelabuhan" atau sandaran pertama bagi anak-anaknya. Begitu juga dengan kami.

Sebelum tidur malam, saya sebagai Ibu sering melakukan ritual khusus dengan anak-anak yaitu ngobrol dan sesekali deep talk kalau memang diperlukan. Karena sudah menjadi rutinitas, jadi tidak ada rasa canggung ketika hendak berkomunikasi. Dan kami melakukan komunikasi lebih intens ketika Kecemut sedang ada kegiatan khusus di sekolahnya, seperti kegiatan PTS.

Komunikasi kali ini tidak lagi ringan seperti tanya kabar, tapi lebih intens lagi. Menanyakan pengamalan mengikuti PTS, ini seperti evaluasi atau review. Yha...siapa tahu masih ada hal masih belum dia pahami, apalagi ini merupakan kegiatan untuk pertama kali baginya.

5. Mengucapkan Terima Kasih, Apapun Hasilnya.

Nah, terakhir ini yang selalu kami ingat. Adalah mengucapkan terima kasih kepada anak, apapun hasilnya. Dalam hati kecil orangtua, ketika anak memperoleh nilai yang bagi orangtua kurang memuaskan, mungkin tidak mudah untuk mengucapkan terima kasih, ya. Namun ketika anak sudah belajar dengan rajin, ada proses yang terlihat, jangan ragu untuk mengucapkan terima kasih. Kami sampai saat ini belum tahu hasil PTS Kecemut karena sekolah tidak membagikan hasilnya. Namun, kami tetap mengucapkan terima kasih karena kami sangat menghargai usaha dia dalam belajar persiapan PTS setiap harinya.

Ketika Anak Penilaian Tengah Semester

Sebagai Ibu, saya sebenarnya masih penasaran dengan hasil PTS meskipun Kecemut ketika saya tanya tentang soal-soal PTS selalu jawab "Aku bisa jawab semuanya. Aku bisa, Ibu. Gampang banget, Bu.", tidak tahu kenapa rasanya tetap saja belum tenang karena belum melihat apa yang dia kerjakan. Yha....setidaknya bisa menjadi evaluasi bagi saya dan suami untuk persiapan Ujian Tengah Semester (UTS) nanti.

Pengalaman Anak Mengikuti Penilaian Tengah Semester (PTS) Untuk Pertama Kali.

Hari pertama Kecemut mengikuti PTS untuk pertama kalinya, malam harinya ketika kami ngobrol, dia bercerita ada rasa takut. Namun setelah kami ngobrol, ternyata bukan takut yang dia rasakan, melainkan lebih pada khawatir kalau ada yang minta menyontek. ðŸ˜‚ Sebagai Ibu yang setiap hari mendampinginya belajar, saya merasa bahagia karena beberapa hal yang saya sampaikan sebelum PTS sudah bisa dia implementasikan. Saya juga bahagia setiap Kecemut menyampaikan jika apa yang sudah dipelajari, sebagian banyak keluar di PTS dan alhamdulillah dia masih ingat apa saja materinya. Alhamdulillah....

Di sisi lain, dia menyampaikan ada beberapa soal yang susah untuk dikerjakan yaitu pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI). Saya ingat betul ketika dia belajar surah al-fatihah. Saat melafalkan, dia mampu. Namun, ketika diminta untuk menulis ayat-nya secara acak, dia belum bisa. Bagian ini saya sangat maklum karena Kecemut memang baru bisa menulis huruf hijaiyah yang satuan, belum bisa menyambung huruf hijaiyah.

Bagaimana, Parents? Punya pengalaman serupa dengan saya, yuk ngobrol seru lewat kolom komentar. ðŸ˜‰
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

Cari Di sini

Perkenalkan...

Hai...perkenalkan, saya Idah. Ibuk dari dua anak dan satu-satunya admin di blog ini.

Rutinitas saya saat ini sebagai Ibu Rumah Tangga sekaligus Ibu Pekerja Kantoran. Kami sekarang tinggal di Kota Dawet Ayu, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Oiya, jika ingin komunikasi, bisa melalui akun instagram kami @cerisfamily atau kontak langsung melalui email cerisfamily@gmail.com. Terima kasih.

On Youtube

Fans Page

CERIS Family

Blog Archive

  • ►  2025 (14)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2024 (39)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (28)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2022 (14)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (4)
    • ▼  Oktober (4)
      • Pengalaman Menyapih Anak Kedua
      • Anak Usia 6 Tahun Pergi Renang Tanpa Orang Tua. La...
      • Memantau Perkembangan Kosakata Anak
      • Ketika Anak Penilaian Tengah Semester (PTS) Untuk ...
    • ►  Agustus (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2021 (12)
    • ►  September (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2020 (17)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (42)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (26)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (37)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2017 (61)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2016 (62)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2015 (63)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (6)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (10)
    • ►  Juni (12)
    • ►  Mei (2)

Popular Posts

  • Biaya USG 4 Dimensi di RS Panti Nugroho
  • Tujuan Pemeriksaan HB dan HBsAG untuk Ibu Hamil
  • Tip Agar Jahitan Pasca Melahirkan Cepat Kering

recent posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Part Of Community


Blogger Perempuan
mamadaring
Seedbacklink

Follow Us!

Social Media

Facebook Twitter Instagram Youtube Blog Ibu

MageNet

0ccdff8bd3766e1e4fdd711a2ad08ee5151bd247

Created with by ThemeXpose